[Part 2.4] REVIEW & SOCIAL EXPERIMENT DI KAMPUNG TRIDI & KAMPUNG WARNA-WARNI JODIPAN
Jam menunjukkan pukul 11.00, yang artinya kami sebagai para pria yang berada dalam golongan menjaga ketampanan tak lupa menunaikan kewajiban ibadah sholat jumat. Lalu bagaimana dengan para kaum hawa? Pada berpencar semua. Ada yang pergi ke dapur untuk melampiaskan kembali bakat terpendamnya seperti malam sebelumnya, menu untuk makan siang ini adalah sayur sop. Ini merupakan keberaniannya mencoba keluar dari zona nyaman setelah kemarin hanya memasak mie instan yang bumbunya sudah berada dalam takaran jadi tinggal dimasukkan. Lainnya, lebih banyak yang memilih kembali masuk ke kamar. Entah mager, ghibah, atau tidur-tiduran, yang jelas aku pun tak tahu apa pastinya. Gak mungkin juga aku buka satu-satu dong pintu kamarnya untuk tahu mereka lagi apa.
Dari dalam kamar laki-laki, terlihat sedang terjadi antrian
yang tak begitu mbludak *Memang cuma 5 orang doang hoho, untuk bergantian
menunggu giliran mandi. Yang juga cukup bikin nyaman di penginapan ini adalah
tiap kamar sudah ada 1 kamar mandi alias ada kamar mandi dalam. Sembari antri
terceletuk pertanyaan dari salah satu dari kami "Ini masjidnya dimana ya
kira-kira?". "Sepertinya tak jauh dari sini, karena suaranya masih
terdengar lumayan jelas" lainnya menjawab. 1 anak yang baru selesai mandi
dan setelah berpakaian rapi, mengecek keluar masjid terdekat, kemudian kembali
naik ke atas untuk menginformasikan dimana tempatnya. Ternyata tak begitu jauh
juga, keluar penginapan tinggal berjalan ke kiri saja, nanti juga kelihatan
masjidnya di sebelah kiri jalan, jadi posisinya tepat di pinggir jalan, tak
sampai masuk ke gang-gang
Kami berangkat bersama-sama, jalan kaki tentunya. Bebarengan
dengan orang-orang yang juga menuju kesana. Aku baru menemukan ini ibadah
Sholat Jumat tetapi di halaman masjid ada panitia/ pengelola yang menyiapkan
makanan yang kebetulan waktu itu menunya adalah Soto Ayam lengkap dengan
nasinya yang disuguhkan untuk jamaah setelah selesai melaksanakan ibadah.
Jumlah porsi yang disuguhkan pun cukup banyak, sekitar 50an ada lah, tepatnya
tak tahu berapa. Meski begitu, banyak juga yang tak kebagian karena jamaahnya
sendiri yang juga sangat banyak. Semoga tidak ada yang sedih/ kecewa buat yang
belum pada dapat. Lalu bagaimana denganku? Kalau urusan makan-memakan tak perlu
ditanya hehe. Aku termasuk salah satu yang kebagian, yang selang beberapa waktu
kemudian habis sudah semua makanan yang disuguhkan. Cuma karena yang lain tak
kebagian & halaman masjid yang tak begitu luas, akhirnya aku ditinggal
sendirian sementara teman-teman pada balik ke penginapan. Seenak-enak menunya
kalau di posisi begini makan pun jadi gak lega karena terburu-buru, mana ini
soto agak panas lagi hiksss.
Ku taruh mangkok dan sendok di sebuah keranjang besar
bersamaan dengan mangkok dan sendok kotor lainnya setelah habis sudah Soto nya
aku makan tanpa ada sisa. Selanjutnya langsung jalan balik menuju penginapan
dengan langkah agak cepat karena khawatir sudah pada nungguin semua. Begitu
sampai, ternyata masih belum pada apa-apa, masih sama situasi seperti
sebelumnya. Yasudah, langsung naik ke atas packing pakaian, perlengkapan mandi,
serta barang-barang lainnya yang sudah keluar dari tas.
Selesai beberes, mengecek kembali kamar terutama dalam kamar
mandi siapa tahu ada yang tertinggal entah punyaku sendiri atau teman-teman.
Mau bawa oleh-oleh atau tidak, berat tas saat mau pulang kok rasanya seperti
bertambah ya? Pada pernah ngerasain juga? Dan, atau kah ini sudah merupakan
budaya? Hoho. Aku pribadi sepakat untuk mengatakan "Iya ya, kok
bisa?". Mungkin ini salah satu penyebab kalau kadung liburan rasanya males
banget buat pulang. Tapi tetep, penyebab utamanya sih jelas males aja kembali
ke rutinitas kesibukan hehe, secara enak banget pas lagi liburan, hidup serasa
gak ada beban.
Jadwal kereta menuju Surabaya malam sekitar pukul 8an, tetapi
kami harus segera bergegas check-out dari penginapan karena masih ada 1 lagi
kegiatan, pun juga sungkan sama pemiliknya karena sudah diberi tambahan waktu
setelah Mas Chiko bernegoisasi untuk sholat jumat terlebih dahulu di dekat
sini. Juga kebetulan si pemilik adalah orangtua dari kawannya, tetapi kan semua
juga ada aturannya, tak mungkin juga semena-mena, sudah dikasih ati masak minta
ampela, lengkap dengan rendang dan dagingnya juga *Itu mah Ampera. Mas Chiko
meminta tolong salah satu murid laki-laki nya untuk menyuruh teman-temannya
segera berkumpul di bawah.
Setelah berkumpul semua lengkap dengan barang bawaanya, Mas
Chiko menginstruksikan bagi yang sudah lapar untuk segera makan siang. Dengan
menu sayur sop dan lupa lauknya ada apa aja yang dimasak sendiri oleh adik-adik
SMA Muhammadiyah X Surabaya, semua nampak menikmati makan siangnya. Bagaimana
denganku? Soto Ayam 1 mangkok di masjid tadi untuk saat ini masih mampu
mengganjal perutku, tidak tahu kalau nanti hoho. Adat bertamu, meski mungkin tak
sempat mencucinya, setidaknya membereskan atau merapikan piring-piring kotor
setelah digunakan untuk tempat makan.
Setelah dirasa tak ada lagi yang berserakan dan memastikan
tak ada lagi yang tertinggal, tak ada waktu untuk sedikit bersantai, kami
langsung persiapan yang sebelumnya tak lupa untuk berpamitan. Adik-adik ini
kembali membagi diri menjadi kelompok seperti saat perjalanan menuju Batu dari
Stasiun Malang Kota Baru. Sudah tentu tujuannya adalah supaya tak terlihat
seperti rombongan. Karena agak jarang melihat angkutan yang lewat,
alternatifnya adalah kembali memesan online. Pembagian kelompok seperti ini
sebenarnya tak sekedar berfungsi untuk menghindari terlihat seperti rombongan,
tetapi juga memudahkan saat memesan online kendaraan, jadi sudah tak ada lagi
yang namanya tengkar gara-gara pilih barengan.
Berbeda dengan hari sebelumnya, kelompok yang aku tumpangi
kini mobilnya datang paling akhir, bukan jadi masalah toh nanti ujung-ujungnya
juga berkumpul di tempat yang sama. Apalagi siapa yang tak bahagia kalau dapat
CRV seingatku nobilnya, walaupun sebenarnya berharap sekali-kali dapat Alphard,
Vellfire, atau mobil sport gitu hoho. Ya namanya juga manusia, kadang kurang
merasa bersyukur dengan hidupnya. Masih untung dapat yang lumayan nyaman, coba
dapat mobil dengan box terbuka alias pick-up apa gak kepanasan selama
perjalanan haha. Menuju kemana kah kalian semua? Oh iya belum aku jelaskan ya
hoho. Perjalanan menggunakan taxi online ini adalah menuju Terminal
Landungsari. Tempat ini semacam menjadi transit dalam perjalanan 2 hari ini.
Meski beberapa kali melewati, ini adalah pertama kali masuk atau menggunakan
transportasi umum dari terminal ini. Karena memang selama ke Batu lebih sering
menggunakan kendaraan pribadi
Lalu bagaimana dengan kegiatan yang katanya masih ada satu
lagi? Seperti apa dan dimana kah lokasinya? Nyampai terminal aja belum
mobilnya, tunggulah hoho. Perjalanan dari Batu menju Terminal Landungsari
terbilang cukup lancar. Dan saat itu tak juga terlihat para pemudik memadati
jalan, karena memang lebaran masih lama hehe. Kegiatan ini dimulai dari kamis
dan berakhir pada hari jumat salah satunya juga untuk menghindari kemacetan,
mengingat Batu sebagai Kota Wisata saat akhir pekan macetnya cukup lumayan
*Lumayan bikin lelah. Alasan lainnya supaya adik-adik ini bisa pada quality
time di Surabaya.
Tak terasa setelah sekitar 30 menitan, mobil menyebrang ke
arah kanan yang berarti telah sampai di tujuan. Pak sopir menurunkan tepat di
depan terminal. Turunlah kami satu persatu, aku harus mengalah dan sedikit
bersabar untuk tak turun duluan karena posisi dudukku di kursi paling belakang.
Sambil menunggu salah satu murid yang juga menjadi ketua di kelompoknya
membayar total biayanya, aku melihat sekitar siapa tahu ada angkutan yang
berjalan mengarah ke Stasiun Malang Kota Baru, entah AL ataupun ADL. Eh tapi
ujung-ujungnya lupa naik angkutan apa kami pada waktu itu, pokoknya tujuan
tetap sama.
Karena yang tadi kami tumpangi adalah masuk kategori mobil
pribadi, yang mana berbeda dengan kemarin dimana angkutan yang kami tumpangi
dari Stasiun Malang Kota Baru masuk ke dalam terminal, dan jalan untuk masuk ke
dalam lumayan juga, kami memutuskan untuk mencari angkutan dengan menunggu di
area luar saja. Setelah terlihat ada sebuah angkutan berwarna biru *Semua
angkutan di Malang rata-rata berwarna biru njir, aku coba dekati dan menanyakan
kepada Pak Sopir apakah rutenya melewati Stasiun Malang Kota Baru. Setelah
terucap jawaban iya, kami semua langsung masuk ke dalam. Tanpa perlu menunggu
penumpang penuh, Pak Sopir memberangkatkan armadanya. Karena angkutannya tidak
kami carter/ sewa, di jalan masih mempersilahkan masuk calon-calon penumpang
yang satu arah tujuannya. Tetiba HP bergetar, ku lihat ternyata notif dari grup
whatsapp khusus untuk ketua kelompok dan pendamping. Pesan tersebut ternyata
dari Mas Chiko dimana kami diminta untuk coba melobi/ negosiasi kepada sopir
untuk menurunkan langsung ke tujuan, daripada harus turun dulu di stasiun
kemudian lanjut jalan. Emang dimana kah tujuan sebenarnya? Jika segera butuh
jawabannya, silahkan pahami dengan ciri-ciri yang sudah dijelaskan sebelumnya
hoho.
Dudukku yang terlanjur terjepit di pojokan dan banyaknya
penumpang lain yang aku atau pak sopirnya sendiri mungkin juga belum tahu akan
turun dimana, membuatku agak ragu untuk bernegoisasi untuk meminta turun di
tempat yang dituju. Ada tambahan biaya sih pasti, asal cocok bolehlah. Tetapi
akhirnya aku malah mengurungkan niatku setelah tahu ada 1 kelompok lain yang
memilih turun di stasiun karena tambahan biaya yang diberikan sopir lumayan
kerasa hoho. Sedang Mas Chiko bersama 2 kelompok lainnya yang ternyata berada
dalam 1 angkutan yang sama sudah fix untuk langsung turun ke tempat tujuan.
1 kelompok yang lebih memilih untuk turun di stasiun tadi
lebih dulu sampai ketimbang angkutan yang aku tumpangi bersama dengan 1
kelompok lagi. Sebelum melanjutkan perjalanan ke lokasi kegiatan, aku kasih
kesempatan sebentar adik-adik ini untuk istirahat. Boleh duduk-duduk, makan,
ataupun jajan. Supaya ada terkumpul dulu tenaganya karena aku sendiri belum tau
pasti berapa meter atau kilo jalan kaki nanti. Juga karena ini bukan kegiatan
di bidang olahraga jadi aku tak bisa memforsir tenaga mereka. Pun kegiatan
kedua ini juga Mas Chiko dan aku jadikan sebagai opsional, kalau memang dirasa
tak memungkinkan karena kelelahan, biarkan tempatnya menjadi sekedar melepas
penat atau me-refresh pikiran.
Setelah kutanyakan ke adik-adik, dan mereka sudah posisi
siap untuk lanjut, kami bersama-sama berjalan menuju ke lokasi tujuan. Dari
depan stasiun kami berjalan ke arah kiri dan tinggal lurus atau mengikuti jalan
besar. Ada mungkin sekitar 10-15 menitan
kami sudah sampai. Lokasinya adalah ... *Jeng jeng jeng jeng* Kampung Tridi
Jodipan hoho. 2 kelompok yang langsung turun disana sudah menunggu lumayan,
maklumi lah kami namanya juga jalan jadi nyampai sedikit lama. Ada biaya tiket
masuknya, tapi tenang hanya senilai parkir motor rata-rata di Surabaya, yaitu
Rp 3.000/orang. Kalau di tempat wisata lainnya tiket masuknya biasanya berupa
secarik kertas yang kadang nantinya entah petugas atau kita sendiri yang akan
sobek, jadi agak susah untuk disimpan. Memasuki kawasan kampung ini, tiap
pengunjung mendapatkan tiket masuk berupa gantungan kunci buatan warga sendiri
yang terbuat dari kain yang dibentuk menyerupai muka atau wajah, jadi bisa
sekaligus dijadikan cindera mata.
Belum sempat dilakukan sebelum-sebelumnya entah karena
mungkin kelupaan, menggunakan background sebuah tulisan kampung tridi, kami
berfoto bersama. Jika semua berada dalam 1 frame, lalu siapakah yang memgambil
gambar? Emang ini kampung tak ada tanda-tanda kehidupan, sampe harus bingung
siapa yang mencari gambar! Hehe bercanda. Jadi ceritanya ada 2 orang teman dari
adik-adik SMA Muhammadiyah X yang tiba-tiba menyusul motoran semenjak kami
semua masih di Batu. Keduanya bukan bagian dari potensi psikologi, entah apa
motivasinya menyusul kesini, tetapi setidaknya diuntungkan bisa membantu untuk
dokumentasi karena salah satunya membawa kamera DSLR.
Sebetulnya Mas Chiko dan aku sempat berfikir untuk
membatalkan kegiatan terakhir sore hari ini melihat adik-adik ini nampaknya
sudah mulai lelah terlebih yang barusan kesini berjalan kaki, biarlah ini
dijadikan sebagai hiburan setelah dari kemarin seharian sampai dengan tadi pagi
bisa dibilang padat dengan kegiatan. Memang sengaja tak langsung kami
sampaikan, kami kasih waktu terlebih dahulu untuk santai sebentar, juga yang
mau menunaikan ibadah sholat ashar, sambil juga melihat bagaimana kondisi
setelahnya. Strategi yang Mas Chiko dan aku gunakan adalah bukan menyampaikan
ke adik-adik bahwa untuk kegiatan terakhir ini dibatalkan dan tempat ini
dijadikan sebagai hiburan saja, tetapi dengan tidak mengingatkan bahwa ada tugas
yang harus dikerjakan.
Diluar dugaan, selang beberapa waktu yang tak begitu lama
adik-adik ini menanyakan kapan bisa dimulai menjalankan tugas atau misinya.
Melihat semangat dan antusias mereka Mas Chiko menjawabnya dengan "Bisa
dilakukan sekarang". Kami semua berjalan masuk lebih dalam ke
perkampungannya karena di tempat kami berkumpul sekarang ini terbilang cukup
sepi. Lalu apa kaitannya dengan kegiatan terakhir ini? Jadi setelah kegiatan
terakhir di penginapan pagi tadi, Mas Chiko memberikan penjelasan mengenai
tugas atau misi yang dikerjakan di Kampung Tridi ini. Tugasnya adalah bagaimana
adik-adik ini bisa menarik atau mengajak orang supaya kedua tangannya membentuk
huruf X atau silang yang berarti simbol romawi dari angka 10 yang dimana itu
adalah sekolah mereka. Namun aturannya adalah tidak boleh ada yang memperagakan
saat mengajak si objek tersebut, kita hanya boleh memberikan kode seperti
contoh: "Mas biasanya crew tv kalau mau cut acara gimana gerakan
tangannya?", dll. Seru banget kan? Hoho.
Setelah berhasil, si objek akan difoto sebagai laporan juga
dokumentasi untuk ditunjukkan ke Mas Chiko. Tak ada batasan dalam jumlah objek,
jadi sebanyak-banyaknya selama kegiatan berlangsung. Pun begitu, Mas Chiko
tidak terlalu mengikat, boleh diselingi sambil jelajah perkampungannya, atau
mungkin berfoto dengan background bangunan yang berwarna-warni, pokoknya bebas!
Yang semacam ini bertujuan menunjukkan cara belajar yang tidak terlalu serius
supaya tidak membuat jenuh. Iya, atau yang banyak guru atau pengajar
menyebutnya Sersan (Serius tapi santai), sayangnya prakteknya kadang tak sesuai
dengan apa yang dikatakan. Untuk kegiatan terakhir ini sendiri tujuannya sudah
tentu yang pertama adalah bagaimana memulai interaksi dengan orang yang baru
pertama kenal. Selanjutnya yaitu bagaimana mempengaruhi (Banyak sekali
kaitannya) seseorang tanpa mengutarakannya secara langsung. Penjelasan mengenai tujuan cukup sampai
disini biarlah masing-masing orang mengartikan lebih dalam sendiri.
Meski keseluruhan bangunan di kampung ini berwarna-warni,
tetapi tiap wilayah punya pengelola sendiri. Dari Kampung Tridi jika berjalan
lurus sampai ke ujung akan ditemukan sebuah jembatan berwarna kuning yang
menjadi penghubung dengan kampung di sebelahnya, yaitu Kampung Warna-warni
Jodipan atau disingkat oleh warga dengan KWJ. Selain 2 kampung ini, diseberang
jalan besar ada 1 kampung lagi dengan seluruh bangunannya yang berwarna biru,
ya sudah pasti namanya Kampung Biru. Apabila dari Kampung Tridi ingin
menjelajah lebih dengan masuk ke wilayah Kampung Warna-warni Jodipan maka akan
dikenakan tambahan lagi Rp 3.000/orang. Sistemnya sama dengan saat memasuki
Kampung Tridi, setelah membayar setiap pengunjung akan mendapatkan kembali
gantungan kunci. Sementara untuk yang hanya melihat-lihat pemandangan dari
jembatan tak ada dikenakan biaya. Itu yang Mas Chiko & aku lakukan, karena
dari jembatan adik-adik masih bisa terpantau dan terawasi.
Lalu bagaimana saat akan kembali ke Kampung Tridi? Tenang, karena
tak akan dikenakan biaya lagi. Mungkin seperti ini hitung-hitungan gampangnya,
untuk menjelajah 2 wilayah tersebut cukup mengeluarkan Rp 6.000 saja. Murah
bukan? Hehe. Segera masukkan ke bucket list supaya gak kelupaan
Saking seru dan menyenangkannya kegiatan ini, sampai-sampai
tak terasa waktu sudah semakin sore, atau cuma aku saja yang tak merasakan
karena tak ikut menjalankan tugasnya hoho. Senja mulai datang pertanda waktu
menuju ke petang. Pun demikian dengan adik-adik semua, nampaknya kelompok per
kelompok mulai selesai mengejarkan tugasnya. Berapa pun objek yang didapatkan
bukan jadi masalah, yang terpenting ada hal yang bisa dipelajari dari kegiatan
sore ini. Kami semua mulai berjalan kembali keluar menuju ke tempat dimana saat
tadi baru datang, sambil duduk-duduk sejenak menunggu waktu maghrib tiba.
Oh iya, di tengah-tengah kami berjalan. Aku tengok di sebuah
rumah tertempel sebuah kertas hvs di pintu bertuliskan "Ruang
Make-up" ada lagi di rumah lain tetapi lupa apa tulisannya. Tetiba ingat
sesuatu, mungkin karena kampung ini dijadikan Bayu Skak untuk lokasi syuting
film keduanya "Yowis Ben 2", karena memang pada waktu-waktu itu
sedang berlangsung proses syuting dan menjadikan Kampung Tridi sebagai salah
satu lokasi untuk filmnya. Ini adalah kali kedua dimana di film pertamanya
"Yowis Ben" juga menggunakan lokasi yang sama. Kami juga menemukan
warung yang digunakan ibunya Bayu untuk berjualan Nasi Pecel di film
pertamanya, tentu tak lupa untuk kemudian kami abadikan momentnya. Menurut
salah satu warga sekitar, selain film Yowis Ben, salah satu sinetron komedi di
RCTI berjudul "Ojek Pengkolan" juga pernah mampir kemari. Salah satu
warga yang aku lupa namanya tersebut juga terlibat menjadi bagian di dalamnya
sebagai figuran atau kalau bahasa kerennya sekarang Cameo. Si orang tersebut
juga menunjukkan melalui video yang tersimpan di HP-nya kala ia sedang in-frame
di kamera. Kalau sudah muncul dan dikenal dengan sesuatu yang unik, media mana
yang tak berusaha untuk meliputnya. Jadi, selain menjadi bagian dari lokasi
untuk film maupun sinetron, kawasan ini mungkin sudah didatangi beberapa media,
karena pada saat berjalan menuju ke musholla ada sebuah grafiti di tembok yang
bertuliskan Trans7 juga salah satu acara yang ada di dalam channelnya tetapi aku
lupa apa.
Adzan sudah berkumandang, dimana saatnya kami menunaikan
ibadah sholat maghrib. Kami turun ke bawah di gang sebelahnya yang masih dalam
1 kawasan menuju ke musholla. Dari sini lah aku mengetahui kalau gantungan
kunci yang diberikan kepada tiap pengunjung adalah buatan warga sendiri, karena
salah satu si pengrajinnya adalah yang rumahnya tepat berada di depan musholla.
Usai melaksanakan sholat, tentulah kami kembali ke tempat semula, kemudian
mengambil tas yang dititipkan tadi saat adik-adik akan menjalankan tugasnya,
untuk biaya penitipannya Rp 2.000 kalau gak salah. Setelah berkumpul semua dan
dirasa tak ada lagi yang tertinggal, kami jalan kaki sama-sama menuju Stasiun
Malang Kota Baru. Karena beramai-ramai, tempat yang jaraknya agak lumayan pun
jadi gak kerasa *Karena biasanya pas bangun tidur besoknya kerasanya hoho. Sama
dengan saat berangkat, untuk rute jalannya menyeberang kemudian tinggal lurus
saja mengikuti jalan besar. Bisa dibilang ini menjadi semacam Study Tour yang
benar-benar berbeda. Kalau mau tahu bagaimana sensasinya silahkan dicoba! Eit,
jangan lupa boleh lah pake kami berdua untuk jadi Tour Leadernya *Promosi dikit
haha.
Waktu keberangkatan kereta menuju Surabaya yang masih
setengah jam-an lebih lagi membuat kami semua harus menunggu. Karena ruang
tunggunya yang agak kecil sedang jumlah kami sendiri saja sudah 20an belum
ditambah dengan penumpang lainnya membuat kami akhirnya lebih memilih menunggu
dengan ngemper di depan stasiun, tepatnya di depan konter Roti'O. Yang sampai pada
akhirnya kami dibuat tergoda oleh promo yang tertulis di konternya. Uang
patungan adik-adik untuk keseluruhan kegiatan yang masih tersisa ini
dibelanjakan roti yang untungnya tak ada satu pun yang tak kebagian. Lumayan
lah untuk mengganjal perut yang nampaknya sudah mulai keroncongan.
Sekitar 15-20 menitan sebelum waktu keberangkatan, kami
semua beranjak masuk ke stasiun untuk antri pengecekan tiket. Mas Chiko
memback-up barisan bagian depan sedang aku berada pada barisan paling belakang
dalam rombongan. Tak ada rasa khawatir sebelumya karena memang sudah kami
persiapkan sesuai prosedur dengan membawa tiket asli yang sudah dibeli beberapa
hari sebelum berangkat. Dan memang iya, sampai lebih kurang separuh rombongan
berjalan dengan lancar saat pengecekan. Namun pada beberapa barisan sebelum ku
mulai terjadi drama, 2 atau 3 anggota rombongan kami tidak diperbolehkan masuk
ruang tunggu kereta bagian luar. Bukan karena tak membawa KTP atau fotocopy
Kartu Keluarga karena beberapa ada yang masih belum genap berusia 17 tahun,
tetapi ternyata tanggal yang tercetak pada tiket bukan tanggal hari ini.
Petugas pada bagian pengecekan langsung mengarahkan kami menuju ke tempat yang
aku fikir itu adalah customer service atau semacam tempat pengaduan. Pada saat
salah satu dari kami yang melakukan pembelian tiket mengelak bahwa itu bukan
kesalahannya yang mana kemungkinan itu kesalahan petugas pada bagian pencetakan
tiket dan menurutku juga memang masih ada kemungkinan, karena sistem pembelian
untuk kereta ekonomi yang kami gunakan masih menggunakan sistem manual. Dimana
kami mengisi semacam formulir reservasi nanti petugas akan mengetiknya pada
komputer kemudian dicetakkannya.
Keluhan kami seperti tak juga didengarkannya dengan langsung
menyarankan untuk membeli tiket baru. Aku baru mengerti ternyata kami diarahkan
pak petugas tadi menuju konter tiket. Tak mau berlarut-berlarut dalam drama
yang daripada juga tak ada ujungnya, akhirnya diputuskan lah untuk membeli
tiket baru dengan merogoh kantong pribadi mereka. Setidaknya kami semua masih
bisa bebarengan menuju Surabaya. Sekarang kami antri untuk pengecekan tiket
kembali. Saat tiba giliran kami, semuanya aman terkendali, tak ada lagi
drama-drama dan memang kami tak mengharapkannya karena sudah dalam posisi agak
lelah jadi berharap semuanya lancar-lancar saja.
Setelah sekitar 5 menit menunggu, terdengar pengumuman dari
pengeras suara dengan nada serta kalimat yang sesuai dengan SOP Kereta Api
Indonesia *Yang pernah atau bahkan sering naik kereta pasti tau lah hoho, bahwa
Kereta Penataran-Dhoho tujuan Surabaya akan segera tiba. Kami pun langsung
bersiap-siap, juga penumpang-penumpang lainnya. Saat kereta mulai berhenti,
calon penumpang termasuk kami mempersilahkan terlebih dahulu penumpang yang
turun di stasiun ini. Setelah dirasa tak ada lagi, baru lah kami bergantian
masuk ke dalam gerbong, tentu menyesuaiakan dengan tiket berada pada gerbong
berapa. Tak hanya gerbong, nomor tempat duduk pun sudah tertera pada tiket
kita, jadi tak perlu bingung atau khawatir akan duduk di sebelah mana.
Sayangnya anggota rombongan kami yang membeli tiket baru tadi tidak ada tertera
nomor tempat duduk pada tiketnya alias mereka berdiri selama perjalanan. Karena
merasa iba, akhirnya Mas Chiko dan aku memilih untuk memberikan tempat duduknya
pada mereka, biarlah kami berdua yang berdiri di tengah-tengah, palingan nanti
juga ada yang kosong kursinya apalagi ini sudah setengah perjalanan jadi bisa
dibilang mulai jarang yang akan naik kereta di stasiun-stasiun selanjutnya.
Ekspetasiku berdasarkan perjalanan-perjalananku sebelumnya
adalah biasanya saat perjalanan pulang, suasana rombongan dalam kendaraan
terasa hening karena sudah pada posisi lelah, jadi lebih memanfaatkannya untuk
istirahat. Tapi realitanya apa? Tak ada kelihatan rasa lelah, yang ada malah
gelar lapak untuk mainan kartu uno dalam kereta, mana yang ikutan banyak lagi.
Apakah roti yang dibeli di depan stasiun tadi yang jadi penghilang rasa lelah
dan bikin melek mata? Atau jangan-jangan mereka sebenarnya ingin istirahat tapi
takut direkam temannya? Hoho. Ya namanya sudah mainan apalagi yang ikutan
banyak, agak mustahil bisa main dalam mode silent/ diam, minimal pasti masuk ke
mode getar, entah berupa getaran bunyi atau suara *Eh sama aja ya. Hingga
beberapa kali aku perlu meng-sssttt supaya tidak begitu mengganggu penumpang
yang lainnya, apalagi yang sedang istirahat. Perjalanan lebih kurang 2 jam-an
ini akhirnya mengantarkan kami pada stasiun sebelum stasiun terakhir yaitu
Surabaya Gubeng. Pemilihan stasiun untuk keberangkatan dan kedatangan ini
karena letaknya yang masih berada di pusat kota, jadi para orang tua yang
mengantar dan menjemput putra-putrinya tidak terlalu susah. Kereta tiba di
Stasiun Surabaya Gubeng sekitar pukul 10an, beberapa orang tua sudah siap
menunggu di depan, sehingga putra-putrinya tak perlu menunggu, langsung saja
dibonceng untuk pulang ke rumah. Ada juga yang masih harus menunggu jemputan.
Mas Chiko dan aku memastikan terlebih dahulu bahwa adik-adik ini sudah dalam
perjalanan pulang. Ada 1 anak yang tersisa karena masih harus menunggu ojek
online pesanannya datang, kami masih tetap mendampinginya. Hingga akhirnya
pesanannya datang dan pak driver siap mengantarkan anak tersebut ke alamat
sesuai dengan aplikasi. Karena sudah tak ada lagi rombongan yang tersisa, Mas
Chiko dan aku pun langsung mengambil motor yang sudah 2 hari ini menginap di
parkiran. Dipanasin sebentar supaya gasnya kembali lancar. Setelahnya keluar
parkiran, bayar tiket parkir dan biaya inap terlebih dahulu tentunya, sekitar
20ribu berapa gitu. Baru lah kami juga melakukan perjalanan pulang, tetapi aku
pulang ke rumahnya Mas Chiko untuk nginap sehari terlebih dahulu hoho.
Berakhirlah kegiatan agak nyeleneh di Batu & Malang 2
hari ini, semoga akan ada cerita baru dari kota wisata di Jawa Timur ini,
doakan saja. Atau ada rencana untuk mengadakan kegiatan, hayuklah kami siap
pasang badan *Tetep aja promosinya hehe.
Sampai jumpa di cerita perjalanan #umarilahjalan berikutnya ~
Dokumentasi lainnya:
Sesuai namanya, tridi sekali bukan?
(Kampung Tridi)
Apakah hasil dari manggung band yang satu ini digunakan untuk membangun warung?
(Warung Yowis Ben)
Jembatan penghubung antar kampung beserta dengan brand ambassadornya
Kaum hemat biaya gak perlu turun ke bawah, tinggal moto aja dari jembatan
(Kampung Warna-Warni)
#umarilahjalan
Komentar
Posting Komentar