[Bangkok 6.7] SATU DESTINASI TERPAKSA KAMI LEWATI
Berdiri di dekat kipas selama sekitar 10 menit menjadikan diriku dan Mas Hendra kini terasa lumayan segar kembali. Meski dengan lama waktu tersebut kami tentu sudah terkena semprotan air berulang kali, semprotan air dari kipas yang keluarnya pelan itu tidak sampai menyebabkan baju kami basah. Makanya aku dan Mas Hendra lebih memilih berdiri. Beristirahat dengan duduk memang lebih terasa lega, tetapi agak jauhnya posisi kursi dari jangkauan perputaran baling-baling kipas bisa-bisa malah tidak membuat rasa gerah kami teratasi.
Ketika cuaca di suatu wilayah sedang panas-panasnya, berada di sebuah tempat atau posisi yang bisa kita dapatkan kesejukan aku rasa merupakan sebuah kenyamanan setelah aku baru saja mengalaminya. Ketika aku dan Mas Hendra berdiri di dekat kipas, Sungguh aku sangat betah hingga terkadang dalam diriku muncul keinginan untuk menunda perjalanan. Tapi untung saja aku tidak terlena. Begitu kini diri kami sudah terasa segar kembali, aku langsung mengajak Mas Hendra untuk beranjak pergi meninggalkan tempat ini.
Perjalanan kami lanjutkan dengan mengunjungi sebuah kuil yang lokasinya lumayan dekat dengan Grand Palace. Aku belum tahu pasti sedekat apa posisi tempatnya, hanya ketika membaca beberapa ulasan orang yang pernah berkunjung ke sana, sebagian besar mengatakan bahwa tempat yang akan aku dan Mas Hendra tuju sekarang ini dari Grand Palace bisa dijangkau cukup dengan berjalan kaki. Lalu pada saat aku coba cek melalui Google Maps, jaraknya memang hanya sekitar 700-an meter. Demi mendapatkan sebuah pengalaman yang mengesankan, aku dan Mas Hendra akan menempuh perjalanannya dengan berjalan kaki juga.
Setelah sepertinya dari ketika kami masih berada di dalam Grand Palace Mas Hendra sudah kehausan tapi harus menahan karena orang yang berjualan di dalam saja tidak ada apalagi yang menjual minuman, sekeluarnya kami dari gerbang Grand Palace kemudian berjalan ke arah kiri menyisir sebuah pagar tembok tinggi berwarna putih yang masih menjadi bagian Grand Palace lalu menyeberang jalan untuk menuju tempat selanjutnya yang akan kami kunjungi, Mas Hendra mengajakku mampir sebentar ke salah satu penjual minuman yang ada di depan atau luar area Tha Chang (dermarga tempat kami turun tadi). Kepada si penjual, Mas Hendra menanyakan berapa harga untuk sebotol air mineral berukuran sedang, sayangnya aku tak begitu mendengar jawaban dari si penjual. Belum sampai Mas Hendra membayar air mineral yang sudah ia ambil, ia menawariku dengan menanyakan apakah aku mau sekalian. Melihat air mineral yang tersedia kondisinya dingin semua, pada awalnya aku bingung untuk menolak atau menerima tawaran Mas Hendra. Tidak begitu lama setelah aku tahu bahwa kondisiku sudah kehausan juga, akhirnya aku menerima tawaran dia dengan menjawab “Boleh deh mas.”
Tak sempat aku melihat uang yang dibayarkan dan atau kembalian yang diterima Mas Hendra, atau menanyakan pada dia berapa harga untuk sebotol air mineral berukuran sedang, kami kemudian melanjutkan perjalanan. Dari posisi aku dan Mas Hendra membeli air mineral, kami berjalan ke arah kiri. Apabila diperumpamakan, rute jalan kaki kami dari begitu keluar gerbang Grand Palace adalah membentuk leter L, jalan ke arah kiri, menyeberang, kemudian berjalan ke arah kiri lagi. Rute jalan kaki untuk menuju ke tempat yang akan aku dan Mas Hendra kunjungi sebentar lagi ini bisa dikatakan menyisir beberapa bagian luar Grand Palace. Setelah kami menyeberang jalan kemudian berjalan ke arah kiri, di seberang kiri kami masih pagar tembok putih yang merupakan bagian dari sisi samping kiri Grand Palace.
Aku dan Mas hendra telah berjalan sejauh sekitar 500 meter meninggalkan tempat kami membeli air mineral. Kini kami berhenti di trotoar yang berada di sekitaran pertigaan jalan besar, di mana jalan yang ada di depan kami sekarang ini menjadi pemisah antara Grand Palace dengan Wat Pho. Aku agak waswas ketika kami menghentikan langkah di trotoar sekarang ini karena di dekat kami ada Tuk Tuk yang kebetulan sedang memangkal. Dalam diriku ada rasa khawatir jika tiba-tiba si sopir keluar dari Tuk Tuknya kemudian menawari kami untuk menggunakan jasa dia apalagi hingga memaksa. Tapi aku juga bingung harus berhenti di mana, sedang Wat Pho sebagai tempat wisata yang rencananya sebentar lagi akan kami kunjungi posisinya dari trotoar tempat kami berhenti lumayan dekat.
Tujuan kami berhenti sejenak di trotoar pertigaan jalan besar sekarang ini sembari meminum air mineral yang tadi kami beli adalah untuk berdiskusi tentang rencana kunjungan kami ke Wat Pho. Meski Wat Pho dari sebelum kami berangkat ke Bangkok sudah masuk di dalam daftar tempat wisata yang akan kami kunjungi, aku merasa perlu mendiskusikannya kembali dengan Mas Hendra setelah kudapatkan pengalaman dari destinasi pertama mengenai kondisi di lapangan yang ternyata sangat berbeda. Ketika aku sedang berdiskusi, muncul paradox dalam pikiranku bahwa aku tidak boleh memengaruhi keputusan Mas Hendra atas jadi tidaknya berkunjung ke Wat Pho. Di sisi lain, yang aku khawatirkan jika nantinya kami jadi berkunjung ke sana adalah ketika pengalaman yang didapatkan ternyata sama dengan pada saat berkunjung di Grand Palace tadi ialah apabila jumlah pengunjung yang ada di dalam Wat Pho juga membludak.
Agak lama aku dan Mas Hendra berhenti di trotoar di sekitaran pertigaan, sekitar 10 menitan. Selama kami berhenti dengan tetap berdiri tersebut, aku memerhatikan sesuatu yang lalu lalang, salah satunya adalah kendaraan. Agak lamanya kami berhenti hingga membuatku bisa menyimpulkan bahwa kendaraan yang lebih sering lewat di sekitaran tempat kami berhenti atau Maha Rat Rd sebagai nama jalannya adalah kendaraan umum, di antaranya bus, taksi, kemudian tuk tuk.
Objek lain yang aku perhatikan adalah orang yang lalu lalang di area luar Wat Pho. Cukup spesifiknya objek lain yang aku perhatikan sebagai bahan perkiraanku untuk mengetahui seberapa banyak calon atau orang yang baru saja mengunjungi Wat Pho. Aku menyadari bahwa yang namanya perkiraan jelas tidak begitu akurat hasilnya, bisa jadi beberapa orang hanya kebetulan sedang berjalan melewati area luar Wat Pho, bukan bagian dari pengunjung tempat wisata yang juga dikenal dengan sebutan Sleeping Buddha tersebut. Ketidakbisaanku dan Mas Hendra mengetahui kondisi pengunjung di dalam Wat Pho dari tempat kami berdiri akibat terhalang oleh pagar tembok yang agak tinggilah yang menjadi penyebabku melakukan hal tersebut. Di tengah-tengah kebingunganku melakukan aktivitas apa sembari menunggu keputusan Mas Hendra akan jadi tidaknya mengunjungi Wat Pho sehingga memperhatikan sekitar menjadi piliihannya.
Ketika Mas Hendra tak juga memberikan keputusan karena sepertinya dia masih bingung sedang waktu terus berjalan, aku mencoba memberikan Mas Hendra masukan. Aku mengusulkan pada dia untuk bagaimana jika kunjungan ke Wat Pho dibatalkan dan langsung beralih ke destinasi selanjutnya, dengan pertimbangan yang aku berikan padanya menurut perkiraan asalku bahwa sepertinya suasana atau kondisi pengunjung di Wat Pho yang tidak jauh beda dengan Grand Palace. Tidak butuh waktu lama untuk Mas Hendra mengiyakan usulanku. Kami kemudian langsung kembali melanjutkan perjalanan.
Dalam perjalanan kami menuju destinasi selanjutnya, aku dan Mas Hendra sempat kembali mengalami kejadian salah jalan. Penyebabnya lagi-lagi adalah diriku. Aku yang merasa sudah yakin mengetahui jalan untuk menuju ke dermaga yang dapat membawa kami ke tempat yang akan kami kunjungi dengan berbekal informasi yang sudah tersimpan di dalam kepalaku kemudian memutuskan untuk berjalan tanpa menggunakan panduan dari Google Maps ternyata malah menyebabkan kami berjalan terlewat jauh dari posisi dermaga berada.
Dari posisi kami berhenti beberapa waktu barusan, aku dan Mas Hendra berjalan lurus sesuai dengan arahanku. Ketika kami sedang berjalan, aku sembari menengok-nengok ke arah kanan untuk mencari pasar karena menurut beberapa informasi yang pernah aku baca, demaga yang kami cari posisinya berada di belakang pasar.
Setelah kami berjalan sejauh sekitar 500-600 meter aku tak kunjung mendapati sebuah pasar di jalan-jalan kecil yang ada di sisi sebelah kanan, aku menghentikan langkah yang diikuti oleh Mas Hendra juga. Firasatku sudah tidak enak. Aku tiba-tiba teringat bahwa posisi pasar hanya berjarak beberapa ratus meter dari trotoar yang berada di depan pasar yang akan menuju Tha Chang Pier atau tempat kami membeli air mineral tadi dan masih lumayan dekat dengan area Wat Pho. Aku merasa bahwa kami sudah berjalan kejauhan.
Meski perkiraanku mengenai lokasi pasar bisa jadi salah lantaran aku belum mengetahui sepenuhnya; baru sekedar membaca, aku sudah tidak yakin dengan adanya kemungkinan siapa tahu pasar yang sedang kami cari posisinya belum kami lewati. Hal itu kemudian menyebabkanku lebih memilih mengajak Mas Hendra berjalan balik.
Aku belum bisa lega begitu tidak mendapati sebuah pasar. Selain faktor hanya melalui pasar tersebut kami bisa sampai ke dermaga yang bisa membawa kami menuju ke tempat yang akan kami kunjungi, semua ulasan yang pernah aku baca mengatakan bahwa mereka selalu terlebih dahulu berjalan melewati pasar sebelum akhirnya menjumpai dermaga. Tentu ini menunjukkan bahwa pasarnya berarti memang ada. Hanya aku bingung, kenapa aku tak menjumpai pasar di sekitaran tempatku berjalan. Akibat perasaan belum lega tersebut, aku pada saaat berjalan balik sembari kembali memperhatikan sekitar sisi kiriku dengan lebih teliti.
Aku dan Mas Hendra berjalan selangkah demi selangkah. Namun, hingga tak terasa kami kembali ke posisi semula; tempat aku dan Mas Hendra berhenti beberapa waktu tadi, aku tak juga mendapati adanya sebuah pasar. Ketika aku dan Mas Hendra sudah bingung untuk mau lanjut berjalan ke mana, kami kembali berhenti di tempat yang sama dengan pada saat kami berhenti untuk pertama tadi.
Belum lama kami berhenti, hatiku tergelitik rasa penasaran akan sebuah jalan mengarah ke kanan yang posisinya sangat dekat dengan titik kami berhenti. Jalan tersebut sempat aku abaikan ketika aku dan Mas Hendra kembali melanjutkan perjalanan usai kami berhenti beberapa waktu tadi, di mana kami lebih memilih langsung berjalan lurus. Begitu pula pada saat aku dan Mas Hendra berjalan balik setelah aku merasa kami berjalan terlalu kejauhan, ada rasa ragu dalam diriku bahwa jalan tersebut bisa membawa kami menuju ke dermaga karena tidak terlihat adanya sebuah pasar di sana. Rasa penasaranku yang tak terbendung membuatku memutuskan mengajak Mas Hendra untuk coba menelusuri jalan tersebut.
Aku sejujurnya masih tidak yakin ketika kami sudah mulai berjalan belok ke kanan. Ketidakyakinanku tersebut kemudian diperkuat dengan pemandangan yang terlihat di sini; hanya mobil-mobil yang sedang terparkir di jalan dan kios-kios yang berada di sebelah kiri jalan. Meski aku tidak melihat ada tanda-tanda jalan ini mengarah ke sebuah pasar, aku tidak langsung menyerah. Aku dan Mas hendra masih terus berjalan maju.
Setelah beberapa meter jalan telah kami lalui, kini kami dihadapkan pada sebuah ujung jalan. Dan bukannya yang ada di depan kami sekarang ini adalah sungai Chao Phraya, melainkan sebuah bangunan yang entah di dalamnya berisikan apa. Aku tidak berani masuk langsung ke dalam bangunan tersebut meski posisi pintunya terbuka, yang langsung terbayang di dalam pikiranku adalah rasa khawatir apabila di dalam berisikan sebuah jebakan.
Entah, mengapa semenjak kami menginjakkan kaki di Bangkok, perasaan yang lebih dominan muncul dalam diriku adalah perasaan was-was. Aku tidak bisa menyalahkan ulasan orang-orang mengenai scam yang terjadi di kota yang sekarang sedang aku singgahi ini karena mungkin mereka pernah mengalami. Tapi cerita-cerita tersebut sepertinya sedikit banyak mempengaruhi pikiranku hingga mengakibatkanku kerap kali khawatir berlebihan.
Perasaan was-was yang sering muncul dalam diriku juga adalah alasan mengapa aku meminimalisir penggunaan HP di area publik, seperti aku yang berusaha tidak terlalu mengandalkan seluruh perjalanan kami pada aplikasi Google Maps meski rasanya itu lebih mempermudah. Sejauh perjalanan kami di Bangkok yang belum ada satu hari ini, aku bisa sedikit lebih tenang pada saat berjalan dengan tanpa ada beban sesuatu yang bisa mengancam keselamatan. Jadi, ketimbang aku sedikit-sedikit buka HP atau berjalan dengan memegangi HP, aku lebih memilih mempersiapkan susunan tempat yang akan kami kunjungi; lengkap dengan rute, transportasi, serta jalan yang akan dilewati pada saat sebelum berangkat atau meemulai perjalanan. Kalaupun kemudian kami mengalami salah jalan, aku menganggapnya sebagai cerita pengalaman yang kami dapatkan.
Ketika aku belum berani masuk ke dalam bangunan yang ada di depan kami, aku dan Mas Hendra tidak langsung berjalan pergi. Kami hanya menahan langkah dengan tetap berdiri di depan bangunannya. Pada momen itu, aku dan Mas Hendra coba memperhatikan aktivitas atau sesuatu yang ada di sekitar bangunan supaya apabila kami nantinya pergi, tak ada kejanggalan pada hatiku seperti pada saat kami mengalami salah jalan tadi.
Baru sebentar kami berhenti, aku dan Mas Hendra beranjak pergi setelah apa yang baru saja aku ketahui. Aku mendapati sebuah petunjuk mengenai arah untuk menuju ke Tha Tien Pier, nama dermaga yang sedang kami cari. Petunjuk tersebut mengarahkan kami masuk ke dalam bangunan. Jadi, bukannya kami beranjak pergi meninggalkan bangunan yang ada di depan kami melainkan posisi tempat kami berdiri hehe. Dengan tanpa ada keraguan lagi, kami berjalan masuk ke dalam.
Begitu aku dan Mas Hendra sudah berada di dalam bangunan yang beberapa waktu tadi masih ragu untuk kami masuki, aku jadi mengetahui aktivitas apa yang berlangsung di sini. Tempat ini ternyata dijadikan sebagai transaksi jual-beli, atau bisa dibilang pasar tradisional. Keberadaan pasar ini membuatku semakin yakin bahwa jalan yang sedang aku dan Mas Hendra lalui ini bisa membawa kami menuju dermaga yang sedang kami cari. Apalagi setelah aku tahu bahwa nama pasarnya sama dengan nama dermaga, Tha Tien Market.
Kondisi kami yang sedang buru-buru ditambah dengan tidak adanya ketertarikan pada pasar ini dan keinginan untuk mencari sesuatu di sini membuatku tidak terlalu memperhatikan pemandangan kebutuhan apa saja yang dijual di sisi kiri dan kanan jalan. Aku dan Mas Hendra terus berjalan tanpa sedikit pun menghentikan atau menurunkan tempo langkah.
Setelah kami berjalan beberapa meter, aku dan Mas Hendra akhirnya sampai di ujung bangunan. Di depan kami sudah terlihat pemandangan sungai Chao Phraya yang tadi sudah sempat kami arungi ketika mau menuju ke Grand Palace. Jadi, posisi kami sekarang ini telah masuk di area dermaga.
Sama halnya dengan tadi pada saat aku dan Mas Hendra berada di Sathorn Pier, di Tha Tien Pier ini kebetulan kami juga tidak bisa langsung naik ke dalam perahu akibat terlambat. Aku dan Mas Hendra datang ketika perahu baru saja bergerak meninggalkan dermaga. Ada timbul rasa menyesal dan kecewa dalam diriku. Penyebabnya bukan sekedar karena kami ketinggalan perahu, tetapi kenapa kami sampai di dermaga ketika aku masih sempat melihat wujud perahunya. Andai kedatangan kami kemari cukup sepersekian menit lebih awal, keterlambatan ini rasanya tak mungkin terjadi.
Ketika rasa menyesal dan kecewaku belum sampai larut sepenuhnya, untung saja dari dalam hatiku tiba-tiba keluar sebuah kalimat ‘Tak seharusnya sebuah kesalahan terlalu disesali karena waktu takkan kembali, jadikan saja kesalahan itu sebagai bekal dalam aktivitas menjalani hari-hari.” yang mampu membuat keemosionalanku meredam dengen segera. Aku kemudian juga jadi bisa kembali berpikir dengan jernih hingga mampu menanggapi masalah ditinggalnya kami oleh bukan murni sebagai sebuah keterpurukan, tetapi ada sisi baiknya juga. Aku dan Mas Hendra yang terlambat sepersekian menit saja dari keberangkatan perahu sebelumnya jadi mendapatkan posisi barisan paling depan untuk antrean jadwal perahu berikutnya.
Pada sebuah informasi yang tertempel di pagar pembatas antrean, para calon penumpang termasuk aku dan Mas Hendra hanya perlu menunggu 5 menit untuk perahunya balik ke dermaga ini. Sementara aku dan Mas Hendra masih menunggu perahunya kembali, cerita mengenai tujuan kami ke mana dan seperti apa keseruannya akan aku lanjutkan di part selanjutnya.
Bersambung …
*Di bawah ini adalah dokumentasi perjalanannya:
![]() |
Belum juga disetelin lagu Black Beatles, kendaraan-kendaraan ini kenapa sudah pada nge-freeze ya? - Maha Rat Rd |
.
Instagram: @umarilahjalan
#umarilahjalan ~
Komentar
Posting Komentar