[Bangkok 6.4] SALAH JALAN YANG MEMBAWA PESAN

Setelah tadi sempat tertidur sebentar karena sudah benar-benar kalah dengan rasa lelah pada saat menunggu Mas Hendra bangun dari tidurnya, posisi kami sekarang yang sudah menunjukkan pukul 11.00-an ini adalah baru saja selesai mandi supaya terlihat lebih segar sehingga lebih siap untuk menjalani aktifitas yang akan dimulai sebentar lagi. Dengan hanya membawa 1 ransel milikku dan membiarkan semua barang lainnya tetap berada di dalam kamar, aku dan Mas Hendra kemudian berjalan keluar. Aku masih agak bingung untuk memutuskan menuju ke mana dulu begitu sekarang di lapangan aktifitas kami berjalan tidak sesuai yang direncanakan. Di sisi lain, untuk pelan-pelan mengatur satu per satu kembali rasanya juga sudah tidak mungkin. Berpatokan pada akses mana yang menurutku lebih muda dengan posisi berangkat kami dari Cozy Villa, akhirnya diputuskanlah untuk menuju ke lokasi tujuan pertama sesuai dengan yang ada pada rencana. Sekeluarnya dari Hotel, kami berjalan kaki melewati perkampungan kembali. Selain kondisinya yang masih asing yang kadang membuatku ragu mengenai keamanan dan kenyamanannya, kekhawatiran lainnya pada sebuah perkampungan baru terutama pada wilayah yang lebih banyak penduduk non muslimnya adalah banyaknya anjing yang berkeliaran biasanya. Selama keberadaan mereka tidak begitu mengganggu, sejujurnya tidak ada masalah untukku. Kejadian dikepung oleh 2 ekor anjing dari depan dan belakang di salah satu jalan buntu yang berada di daerah Tukad Balian, Denpasar yang menimpaku beberapa tahun lalu kemudian membuatku agak sedikit waswas apabila dipertemukan dengan anjing lagi. Kecuali mereka yang berada di area tempat wisata, karena sudah setiap harinya bertemu dengan banyak orang baru sehingga biasanya tidak begitu mengganggu. 

Mengenai bagaimana cerita kejadianku hingga bisa dikepung anjing, yaitu pada waktu mencari rumah saudara. Sebetulnya ketika masih di Surabaya, ibu, kakek, dan beberapa saudara lainnya sudah memberitahu mengenai hewan peliharaan saudaraku, hanya saja aku tak sampai yang mengira bahwa mereka sesensitif itu dengan orang baru. Dengan informasi mengenai posisi rumah saudaraku yang aku dapatkan dari salah satu tetangganya beda gang yang ternyata nama dan asalnya sama hingga membuatku sempat berpikir "Apa mungkin dia orangnya?" dan mencoba memirip-miripkan karena tidak begitu hafal betul mukanya, beginilah kurang lebih percakapannya,
Aku: "Maaf Ibu mau tanya, nomor ** sebelah mana ya rumahnya?"
Ibu: (posisinya mau keluar gang tetapi baru menyalakan mesin motornya): "Cari rumah siapa?"
Aku: "Rumahnya Ibu Patemi."
Ibu: "Lah, saya ini Ibu Patemi."
Aku: "Itu, orangnya asalnya dari Blitar terus pindah ke sini."
Ibu: "Saya ini juga dari Blitar."
Aku (Dalam hati): "Kenapa bisa sama terus ya ngakunya, apa iya ini saudaraku." Dengan sambil membayangkan muka saudara dari Blitar lainnya dan sok memirip-miripkannya "Iya kok kayak mirip ya, jangan-jangan beneran iya."
Tetapi karena Ibu tersebut tidak merasa ada apa-apa dengan tidak menanyakan sebaliknya seperti selayaknya ada ikatan saudara, misalnya "iki putue Mbah *** ta?" (Oh ini cucunya Mbah *** ta?) atau "Iki sih *** anake Bu ***?" (Ini sih *** anaknya Bu ***?), aku melanjutkan dengan 1 buah pertanyaan yang mana jawaban darinya menjadi titik terang dalam pencarian.
Aku: "Itu, katanya orangnya punya usaha sablon baju di sini."
Ibu: "Oh,... Ibu Patemi itu. Sampean coba jalan masuk ke gang sebelah, rumahnya paling pojok."
Dengan tidak lupa mengucap terima kasih, aku dan temanku bernama Denny kemudian berjalan pergi. 

Di sinilah drama tersebut terjadi. Setelah berjalan beberapa meter yang sudah tinggal beberapa langkah lagi sampai pada rumah sesuai dengan yang diberitahu oleh si ibu tadi, seekor anjing peliharaan dari rumah tersebut yang indra penciumannya sepertinya tajam sekali karena mengetahui kedatangan kami membuatnya terus menerus menggonggong tiada henti. Beranggapan bahwa hewan tersebut dalam kondisi sedang dikururung, aku dan temanku tetap berusaha berjalan maju dengan menurunkan volume suara baik dari mulut dan juga langkah. Kenekatan kami ini sebetulnya bukan didasari atas rasa berani, melainkan karena belum tahu lagi harus ke mana jika meninggalkan area ini. Dugaan yang salah menjadikan kami tak bisa ke mana-mana setelah anjing yang ternyata ukurannya kecil tersebut ternyata terus berjalan mendekat. Jika berlari, kami rasanya malah akan dikejar. Mau berjalan tetapi sudah tak lagi memungkinkan, anjing putih dengan posturnya yang tinggi nan gagah milik tetangga yang rumahnya hanya berjarak beberapa langkah dari gapura turut keluar setelah mendengar gonggongan kawan sejenisnya. Dikepunglah kami oleh 2 anjing tersebut. Yang kemudian hanya bisa aku lakukan adalah mengajak Denny untuk menjongkokkan diri sembari berpura-pura melempar sesuatu setelah teringat pesan dari ibuku yang waktu kecil dulu pernah sekali aku coba dan cukup bekerja. Namun bukannya pergi, 2 anjing tersebut hanya menghentikan langkah dengan tetap mengeluarkan gonggongannya. Kami berdua yang akhirnya hanya bisa pasrah, beberapa menit kemudian yang belum begitu lama keluar seorang pria dari arah yang sama dengan anjing kecil yaitu rumah paling pojok. Pria yang memiliki tato di badannya tersebut (terlihat karena posisinya yang sedang telanjang dada) menanyakan maksut kedatangan kami. Tanpa sempat aku ketahui namanya, dirinyalah yang menjadi penyelamat kami setelah mengonfirmasi bahwa betul rumah tersebut sesuai dengan yang kami maksud, lalu dipersilahkanlah kami untuk masuk. Tak bisa langsung berjalan mengikuti setelah beranjak berdiri karena rasa takut yang tetap saja masih ada, aku mencoba meminta padanya untuk mengamankan terlebih dahulu anjing kecil yang aku rasa sepertinya miliknya, sedang anjing satunya yang berwarna putih sepertinya oleh si pemilik juga digiring masuk kembali. 

Tiket Airport Rail Link baru saja selesai dibeli. Dengan posisi mesin pembelian tiket berada di lantai 2 sedang posisi area tunggu serta untuk naik ke keretanya berada di lantai 3, kami lanjut menaiki eskalator untuk menuju ke sana. Harga untuk 1 tiket Airport Rail Link-nya sendiri dengan rute tujuan kami yaitu Stasiun Phaya Thai adalah 15 bath. Aku tidak ingat betul mengenai bagaimana bentuk fisik tiketnya, tetapi sepertinya berupa koin plastik. Jika tidak lupa, mungkin dari pada saat berada di Stasiun Suvarnabhumi pagi tadi aku sudah membahasnya hehe. Begitu sudah berada di area tunggu, entah karena posisi keretanya yang masih agak jauh sehingga agak lama datangnya ditambah dengan minimnya pendingin ruangan yang tersedia atau memang tidak ada Lagi-lagi aku lupa, akibatnya adalah panasnya cuaca Bangkok lumayan terasa. Baru begitu kereta sudah datang dan seluruh calon penumpang termasuk kami kemudian masuk ke dalam, rasanya seperti surga. Tak perlu membayangkan perjalanan ini akan memakan waktu sampai berapa lama, karena hanya dalam hitungan sekian menit kereta telah sampai pada stasiun tujuan kami. Bukan kecepatannya yang di atas rata-rata, posisi stasiunnya saja yang dari Stasiun Ratchaprarop tinggal menuju stasiun berikutnya. 

Stasiun Phaya Thai merupakan stasiun tujuan terakhir dari rute Airport Rail Link. Begitu telah sampai atau berhenti di sini, kereta kembali berjalan menuju Bandara Suvarnabhumi dengan tetap sebentar berhenti pada tiap-tiap stasiun yang dilalui. Sekeluarnya dari Stasiun Airport Rail Link, aku dan Mas Hendra kemudian berpindah posisi ke Stasiun Bangkok Train System yang mana masih berada di satu area yang sama. Karena cakupan Airport Rail Link hanya dari dan atau menuju ke bandara, alternatif transportasi yang dapat digunakan untuk mengeksplorasi kota Bangkok salah satunya adalah Bangkok Train System ini. Seperti kami sekarang yang memanfaatkannya karena selain alasan rutenya yang sudah pasti, jarak stasiun terdekat dengan tujuan kami berikutnya tak sampai 150m lebih. Alasan lainnya adalah setelah menaiki kereta ini, akan ada satu pengalaman baru yang akan kami dapatkan nanti, yang mana itu sudah tak mungkin dapat kami nikmati di lain hari karena tidak adanya rute ke sana lagi. Perihal apa pengalaman barunya, lanjutkan saja dulu membacanya hehe. Pada mesin pembelian tiket di Stasiun Phaya Thai sekarang ini, stasiun tujuan yang kami pilih adalah Saphan Taksin. 88 bath total harga tiketnya untuk kami berdua. Untuk sampai pada stasiun tujuan, kami tak bisa hanya mengikuti ke mana kereta mengarah karena jalurnya yang berbeda. Kami yang sudah berada di dalam gerbong sekarang ini tinggal menunggu kereta berhenti di 2 stasiun berikutnya. Mengingat ini merupakan perjalanan pertama, jelas kami belum mengetahui pasti mengenai rute transportasinya. Yang aku jadikan acuan adalah Google Maps dan juga beberapa referensi yang mungkin di lapangan bisa jadi tak sesuai dengan ekspektasi. 

Begitu Kereta Bangkok Train System (BTS) ini berhenti di Stasiun Siam yang merupakan stasiun tujuan ke dua, kami langsung keluar untuk berpindah jalur dari yang mulanya Shukumvit kemudian berganti ke Silom. Pada jalur inilah yang dapat membawa kami menuju Stasiun Saphan Taksin. Karena biasanya terdapat 2 rel yang berlawanan rute tujuannya dan supaya kami tidak salah masuk kereta, aku pahami terlebih dahulu petunjuk informasinya. Meski secara tujuan kami aman, setelah keluar dari Saphan Taksin dan akan menuju tempat selanjutnya kami mengalami salah jalan. Begitu turun dari kereta, aku sudah mencoba mengikuti ke mana arah petunjuknya. Hanya saja karena setelah keluar dari stasiun tidak tahu lagi harus berjalan ke arah mana, akhirnya asumsi pada pikiranku yang berbicara. Posisi stasiun yang bukannya berada di pinggir jalan raya melainkan agak masuk ke dalam gang, juga banyaknya tuktuk yang parkir berjajar di depan pintu keluar membuatku jadi berpikir bahwa sepertinya ini jalan buntu. Aku putuskanlah kemudian untuk mengajak Mas Hendra berjalan ke arah kanan. Dengan hanya lurus mengikuti arah tanpa ada belok ke mana-mana, kami kemudian dihadapkan pada persimpangan jalan raya. Posisi yang harusnya bisa lebih memudahkan karena biasanya lebih banyak informasi yang bisa diterima ternyata nihil hasilnya, tak ada papan atau plang petunjuk yang dapat membantu kami untuk memilih berjalan ke arah kanan atau kiri. Tak bisa berlama-lama hanya berdiam dengan kondisi bingung begini karena bisa saja kami dijadikan sasaran empuk para sopir tuktuk yang alih-alih menawarkan bantuan dengan mengantarkan ke tempat yang diinginkan tetapi justru ada kejahatan yang sedang mereka rencanakan, dengan hanya mengandalkan perasaan kemudian diputuskanlah untuk berjalan ke arah kanan. 

Cukup yakin sekali aku dengan pilihan arah ini hingga tak terasa kami sudah berjalan sejauh 800m lebih. Langkah kami sempat terhenti pada saat melihat di sisi sebelah kanan terdapat sebuah pintu masuk untuk menuju semacam kawasan bangunan khas Thailand, yang jika di Indonesia mungkin seperti candi kecil begitulah. Menduga bahwa tampaknya tempat ini merupakan destinasi yang sedang kami cari, dengan tanpa sedikitpun ada rasa ragu karena beberapa waktu sebelumnya sempat membaca cerita pengalaman seseorang mengenai kunjungannya yang ditempuh menggunakan Bus alias sama-sama tidak dengan perahu, berjalanlah Aku dan Mas Hendra masuk ke dalam sana. Merasa beruntung karena pada saat masuk tak sepeserpun dikenakan biaya, begitu sudah berada di area halaman aku malah terpikir ini sebuah keganjilan. Dengan kondisi di dalam yang ternyata tempat penjualan tiket masuknya juga tidak ada, yang padahal dari beberapa informasi yang pernah aku baca harga tiket masuk untuk pengunjung asing atau mancanegara yaitu 500 Bath rasanya tak mungkin dibebaskan begitu saja, terkecuali ada perayaan-perayaan tertentu atau acara hari jadi masih ada kemungkinan bisa jadi. Itu pun aku juga tidak yakin jika momen perayaannya bertepatan dengan tanggal hari ini. Keganjilan lainnya adalah bahwa Grand Palace aku rasa termasuk destinasi yang tidak pernah sepi mengingat kedudukannya yang sudah menjadi salah satu tempat wisata di Bangkok yang wajib dikunjungi, tetapi di sini malah tak kutemukan satu orang pun yang berstatus pengunjung asing seperti kami. Tidak diputuskan untuk langsung keluar meninggalkan tempat ini, dengan kondisi masih belum menyerah aku coba amati sekali lagi. Kemudian terlihat di seberang terdapat sebuah bangunan yang juga merupakan khas Thailand. Menduga bahwa sepertinya tempat tersebut yang semestinya dan yang menjadi posisi kami berdiri sekarang ini mungkin untuk tempat parkir kendaraannya saja karena masih harus menyeberangi sungai, berjalanlah kami menuju tempat naiknya perahu yang jaraknya tidak begitu jauh. 

Setelah berjalan yang sudah mau sampai sedikit lagi, langkah kami dibuat terhenti. Anjing berukuran besar yang berkeliaran di sekitar sanalah yang menjadi penyebabnya. Ada baiknya juga langkah kami dibuat terhenti sehingga ada jeda untuk aku dapat berpikir kembali mengenai kenapa di sana tak terlihat ada yang sedang menunggu atau antri perahu. Agak was-was juga jika hanya kami berdua calon penumpangnya, dan apalagi tak ada tanda-tanda bahwa penyedia jasa penyeberangannya terdaftar resmi sehingga aku masih dapat memaklumi memang mungkin kondisinya masih atau sudah sepi. Setelah beberapa menit menunggu dengan tetap pada posisi berdiri namun tak kunjung ada calon penumpang lainnya yang membarengi dan apalagi anjing besar yang berada di ujung sungai kini seperti berjalan mengarah kemari, dengan perasaan yang tanpa ragu lagi diputuskanlah untuk beranjak pergi keluar dari area ini. Karena ketidaktahuan akan menuju ke mana jika berjalan ke arah kanan, sesampainya di depan kami mengulang rute pada saat berangkat tadi dengan berjalan ke arah kiri. Setelah tidak tertemukannya tempat yang dicari, aku bingung untuk kemudian menuju ke mana lagi. Supaya tidak jadi tambah tersesat, kami berjalan lagi ke arah kiri. Seandainya pun nantinya masih tidak juga menemukan petunjuk atau jawaban mengenai ke mana kami bisa melanjutkan, setidaknya masih ada stasiun untuk kami bisa balik pulang hehe. Aku lupa antara karena ternyata ada plang di sekitaran persimpangan yang menunjukkan arah menuju tempat naiknya perahu atau perasaan yang tiba-tiba menuntunku, jalan ke arah kiri setelah keluarnya dari Stasiun Saphan Taksin tempat kami turun tadi yang pada mulanya tidak aku kira kini baru tahu bahwa justru ke arah sana rutenya. Entah ini kejadian ke berapa yang membuatku belajar mengenai ketidakbisaan semua diukur menggunakan logika, ada hal-hal tertentu yang perlu langsung dicoba supaya tidak sepertiku tadi jadinya. 

Kini kami berdua tinggal berjalan menuju tempat pembelian tiket perahunya. Karena sudah kukantongi informasi mengenai disarankannya menaiki perahu yang berwarna oranye benderanya lantaran harganya yang lebih murah, maka yang langsung aku tuju adalah yang menjual tiket sesuai dengan yang kami butuh. Harga yang perlu dibayarkan per orangnya yaitu 15 Bath atau jika dikurskan ke dalam rupiah sekitar 7.000. Loket penjualan tiketnya di sini bukan pada umunya yang mana si penjual berada di sebuah ruangan kecil kemudian interaksi dengan calon pembelinya dibatasi oleh kaca, melainkan hanya dilakukan di sebuah meja seperti penerima tamu di sebuah acara-acara. Setelah tiket sudah berada di tangan dan langsung disimpan untuk berjaga-berjaga siapa tahu nantinya masih dibutuhkan, kami kemudian masuk ke dalam barisan antrian sembari menunggu perahunya datang. Melihat banyaknya calon penumpang lainnya yang sudah berdiri di depan kami, aku tidak tahu apakah kami bisa ikut berangkat pada perahu yang setelah ini atau masih harus antri lagi. Setelah sekitar 10-15 menit berjalannya waktu, akhirnya datang juga perahu yang sudah ditunggu-tunggu. Dengan masih membawa cukup banyak penumpang, diturunkanlah terlebih dahulu semua. Mengenai bagaimana bisa mengetahui bahwa betul itu perahunya, bisa dilihat dari warna bendera kecil yang tertancap pada bagian badan atau atap lebih tepatnya biasanya. Begitu perahu sudah berjalan agak maju karena posisi tempat turun dan naiknya penumpang berbeda dan kemudian berhenti kembali yang artinya siap untuk dinaiki, satu per satu mulai dari antrian yang paling depan berjalan masuk ke dalam perahu. Semakin perahunya bertambah satu penumpang, aku semakin penasaran akan bisa tidaknya aku dan Mas Hendra bergabung pada rombongan yang berangkat sekarang. Hingga tibalah pada giliran kami berdua, yang ternyata ... (Tunggu saja di part selanjutnya)
Bersambung ...

*Di bawah ini adalah dokumentasi perjalanannya.
Teng teng teng teng, teng teng teng teng
(Opening pengumuman di stasiun)

Diberitahukan kepada siapa saja yang membaca tulisan ini, 
bahwa kereta di Bangkok ternyata jalannya lewat rel juga.
- Stasiun Ratchaprarop

Mungkin karena apa-apa ditulis dengan bahasa Thailand,
Makanya orang Thailand pada jago bahasa Thailand.
- Sathorn Pier

.
Instagram: @umarilahjalan
#umarilahjalan ~

Komentar