[Bangkok 6.5] PERJALANAN MENUJU DESTINASI PERTAMA

Syukurlah, aku dan Mas Hendra masih bisa ikut berangkat sekarang ternyata. Cukup besar daya tampung perahunya hingga para calon penupang yang antre di belakang kami masih banyak yang kebagian juga. Pengait yang digunakan untuk menahan gerak akibat gelombang arus sungai kini sudah dicabut, pertanda perahu siap untuk kembali melaju. Melihat lajunya yang justru bukan mengarah ke kiri, kami berdua cukup beruntung karena tak sampai naik perahu pada saat kesasar tadi. 

Dalam perjalanan, kami para penumpang tak hanya disuguhkan pemandangan bangunan yang ada di tepi sisi kiri dan kanan, tetapi juga pemandangan kapal dan perahu lainnya dengan beragam bentuk dan pemanfaatannya. Karena bukannya sebagai alternatif transportasi saja, perahu dan kapal di sini juga ada yang dimanfaatkan untuk kebutuhan sarana wisata. Ada kapal Hop On Hop Off yang memberikan pengalaman pada para wisatawan untuk dapat berkeliling dan menikmati Sungai Chao Phraya, wisatawan yang menggunakan jasanya juga akan diberikan kesempatan untuk turun dan merasakan setiap dermaga. Ada juga yang memermak perahu atau kapalnya menjadi restoran, cafe, atau juga pub. Dengan membayar nominal tertentu yang rasanya tak sampai semahal menyewa kapal pesiar, para wisatawan sudah dapat merasakan sensasi makan, nongkrong, atau pesta di atas air.

Rasa kagum akan pengalaman baru membuatku sampai tak sempat mengambil dokumentasi karena terlalu khusuk menikmati. Terbesit dalam hati, "Bisa ya para masyarakat yang mungkin juga didukung pemerintah mengelola sungai yang tadinya biasa saja kini menjadi sasaran tujuan turis dari berbagai negara." Namun, bukannya tanpa ada beban, perasaan bingung mengenai akan turun di mana tetap saja ada meski sudah kukantongi informasi nama dermaganya. Berbeda dengan di kereta yang pemberitahuan sedang berhenti atau akan segera menuju ke stasiun mana dilakukan melalui pengeras suara otomatis, di sini sepertinya tidak ada. Sekali pun ada, mungkin terlontarnya dari mulut nahkoda atau penumpang lainnya yang sehingga bisa saja terdengarnya berbeda. Dengan tetap berpatokan pada nama dermaga dan urutan pemberhentiannya yang ke berapa, aku selalu hitung jumlah dermaga yang sudah terlewati pada saat perahu berhenti.

Begitu sampai pada dermaga yang aku dan Mas Hendra kehendaki, ternyata yang turun dari perahu tidak hanya kami. Dan bukannya hanya 1 atau 2 orang saja, penumpang yang turun dari perahu ternyata lumayan banyak juga. Karena aku baru menyadari bahwa yang akan kami kunjungi beberapa saat lagi ini adalah salah satu destinasi terbesar di Bangkok dengan pengunjungnya yang katanya tidak pernah sepi, dan apalagi melalui dermaga ini yang jarak menuju lokasinya yang paling dekat, Tha Chang menjadi dermaga paling banyak menurunkan penumpang pada perjalanan kami dan sepertinya juga pada setiap hari. 

Turun dari perahu, aku dan Mas Hendra kemudian melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Layaknya tempat oleh-oleh yang berada sebelum pintu keluar sebuah tempat wisata, di sini pun sama. Untuk keluar dari area dermaga, kami dan para penumpang perahu lainnya terlebih dahulu akan berjalan melewati sebuah pasar yang menyediakan kebutuhan oleh-oleh juga. Mengenai kisaran harga atau mahal murahnya, bagaimana bisa aku tahu sedang tak ada satu pun barang yang aku tengok apalagi sentuh, hehe.

Sekeluarnya dari pasar yang berarti sudah tidak lagi berada di area dermaga, ternyata kami masih harus melewati orang-orang yang berjualan di luar. Bedanya dengan yang ada di dalam, kebanyakan yang dijual di sini adalah makanan dan minuman. Karena merasa tidak ada yang sedang kami butuhkan, aku dan Mas Hendra tetap lanjut berjalan. Hingga akhirnya sampailah kami di persimpangan jalan, hatiku kembali agak deg-degan setelah teringat dengan apa yang pernah aku baca mengenai scam yang banyak terjadi di sekitaran Grand Palace. 

Berdasarkan dari beberapa orang yang pernah mengalami, modus kejahatan yang ada di sekitaran sini biasanya dilakukan oleh para sopir Tuk Tuk dengan memberitahukan kepada pejalan kaki yang secara random ia temui bahwa Grand Palace masih tutup dan baru akan bukan pada pukul 15.00 nanti. Tak sekedar memberitahu, usaha si sopir untuk membuat calon korbannya percaya adalah dengan meminta mereka naik atau masuk ke dalam Tuk Tuknya supaya bisa ia tunjukkan bahwa memang tutup tempatnya. Yang dilakukan sopir Tuk Tuk tersebut sebetulnya adalah membawa para calon korban ke pintu lain yang mungkin memang tidak pernah dibuka karena bukan tempat untuk keluar masuknya para pengunjung. Begitu para calon korban percaya, si sopir melancarkan aksinya dengan menawarkan jasa keliling ke beberapa tempat wisata atau oleh-oleh yang ada di Bangkok. Dari sana biasanya di tengah perjalanan ada yang tiba-tiba ditarik harga yang selisihnya cukup jauh dari yang sudah disepakati, diajak ke tempat-tempat yang biasa saja, sampai yang paling parah adalah mereka dibawa ke toko emas yang sangat mahal kisaran harganya. Dengan kualitas barang yang dijual di toko terbsebut katanya palsu, pengunjung yang sudah terlanjur masuk dipaksa membeli oleh para penjaga.

Untung saja orang baik masih ada dan masih banyak jumlahnya. Tak sekedar memberitahu mengenai kejahatan di Bangkok yang perlu diwaspadai, mereka yang sudah rela meluangkan waktu untuk membagikan ceritanya baik dari pengalaman pribadi atau dari teman, saudara yang pernah mengalami juga memberikan tips cara menghindari serta menghadapi. Salah satu tipsnya adalah yang kali ini sedang aku coba terapkan, yaitu dengan tidak sampai terlihat bingung saat belum tahu akan berjalan ke arah mana. Tentunya memang ini tidak mudah, karena aku juga belum sepenuhnya bisa hehe. 

Beruntungnya perjalananku hingga masuk ke halaman Grand Palace berjalan tanpa ada hambatan. Meski rasa bingung dan waswas mencoba berkuasa, tak sampai menghambat pikiranku sehingga tetap bisa mencari celah. Aku dan Mas Hendra coba mengikuti ke arah mana para penumpang perahu tadi berjalan. Di persimpangan yang pilihan jalannya ada ke depan, kanan, dan juga kiri, pilihan pertama yang kebanyakan mereka pilih. Begitu kami membuntuti dengan ikut menyeberang kemudian berjalan ke depan, beberapa meter tidak begitu jauh dari pandangan kami terlihat antrean yang bukan lagi lumayan melainkan sangat panjang. Pemandangan ini yang akhirnya membuatku cukup merasa aman karena sudah yakin bahwa itu adalah antrean untuk masuk ke dalam Grand Palace. Dan yang membuatku bisa agak lebih tenang adalah di area ini sudah tak terlihat lagi ada Tuk Tuk yang berwara wiri. Kalaupun kemudian ada orang asing yang mencoba mengelabaui kami, aku bisa langsung tolak mentah-mentah pernyataannya.

Mungkin teman-teman pernah merasakan panjangnya antrean di sebuah wahana di taman bermain pada saat masuk musim liburan, apa yang juga pernah aku rasakan tersebut ternyata tak ada apa-apanya setelah mengetahui langsung bagaimana kondisi untuk masuk ke Grand Palace. Panjang antrean di tempat wisata ini sepertinya sudah bukan hitungan 100-200 meter tapi sudah 1 km lebih, karena antreannya sampe memotong jalan dan di seberang masih harus mengular panjang. Kedatangan kami ke Grand Palace sekarang ini padahal tidak bertepatan dengan tanggal merah atau hari libur sekolah. Untung saja, ibarat lalu lintas di jalan, antrean di sini bisa dibilang padat merayap. Aku, Mas Hendra, dan para pengantre lainnya masih bisa terus berjalan meski pelan sehingga tak sampai perlu diam menunggu beberapa orang masuk dulu baru nanti jalan maju. Sungguh aku benar-benar tak mengira, lama waktu aku dan Mas Hendra berjalan dari antrean yang panjangnya naudzubillah sampai masuk ke dalam halaman Grand Palace ternyata sekitar 10 menitan saja.

Sesampainya di halaman Grand Palace, kami langsung berjalan menuju loket penjualan tiket masuk. Seperti halnya di tempat-tempat wisata lain pada umumnya yang juga sempat aku singgung pada part sebelumnya, pihak pengelola tempat wisata Grand Palace juga memberlakukan perbedaan harga tiket masuk untuk pengunjung lokal dan asing. Aku dan Mas Hendra yang termasuk bagian dari pengunjung asing perlu merogoh kocek sejumlah 500 Bath untuk mendapatkan 1 tiket masuk. Meski aku agak lupa berapa harga tiket masuk yang diberlakukan untuk pengunjung lokal, seingatku selisihnya jauh dari harga yang perlu kami bayar. Ini merupakan pengeluaran terbesar pertama kami. 

Jauh beberapa hari sebelum kami datang kemari, aku pernah membaca salah satu ulasan orang mengenai tempat wisata Grand Palace yang menurutku agak berbeda cara pandangnya. Ia tidak lagi berusaha menunjukkan Grand Palace sebagai salah satu destinasi yang wajib dikunjungi, yang diberikannya pada cerita yang ia buat justru adalah opsi yang supaya pembaca bisa memilih. Ia menjelaskan mengenai adanya ketidaksetaraan rasa puas yang diperolehnya setelah mengelilingi bagian dalam Grand Palace dengan harga tiket masuk yang dikenakan pada pengunjung asing anggaplah setara untuk makan 3-4 kali di Bangkok. Namun, ia kemudian menambahkan bahwa para pembaca ulasannya diminta untuk tidak menjadikan cerita pengalamannya sebagai acuan tapi cukup sebagai gambaran, terutama bagi pembaca yang belum pernah ke sana. Bukannya tanpa alasan, ia menjelaskan kenapa pembaca yang belum pernah ke Grand Palace dan sudah ada rencana pergi ke sana untuk tidak ada salahnya mencoba, karena menurutnya supaya mereka bisa merasakan langsung pengalamannya. Pertimbangan itulah yang kemudian membuatku menawarkan pada Mas Hendra untuk memasukkan Grand Palace ke dalam daftar tempat wisata di Bangkok yang akan kami kunjungi pada hari pertama. Tanpa ada halangan terkait cuaca atau kondisi, akhirnya terwujud juga rencana kami mengunjungi Grand Palace dengan urutan hari sesuai dengan itinerary kami. 

Setelah tiket masuk kini sudah aku dan Mas Hendra pegang, aku semakin menjadi tidak sabar merasakan suasana di dalam Grand Palace. Sayangnya aku perlu sedikit bersabar, pintu masuknya yang tidak begitu besar menjadikanku dan Mas Hendra masih harus semacam antre lagi untuk mempersilahkan pengunjung lainnya yang berada di depan kami masuk terlebih dahulu. Untuk itu, cerita pengalamanku menikmati Grand Palace akan aku lanjutkan pada part yang baru, ditunggu!
Bersambung …

*Di bawah ini adalah dokumentasi perjalanannya.
Sebagai orang Indonesia, 
aku sudah merasakan betapa aku dihargainya sangat tinggi di negara orang.
Ketika warganya sendiri dapat tiket masuk wisata dengan cuma bayar berapa, 
aku disuruh bayarnya berapa.
- Grand Palace

.
Instagram: @umarilahjalan
#umarilahjalan ~

Komentar