[Kuala Lumpur 5.15] MENYESAL KE COLMAR TROPICALE?
Begitu waktu telah berganti menjadi pagi kembali, seperti tidak terasa bahwa aktifitas kami di Kuala Lumpur telah memasuki hari ke-4. Sebetulnya ini memang tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan keseluruhan perjalanan kami yang apabila ditotal mencapai 14 hari. Yang bahkan untuk mencapai separuh perjalanan saja, kami masih memerlukan waktu 3 hari lagi. Namun aku tetap perlu mensyukuri, diberikannya kesempatan untuk dapat kembali ke Kuala Lumpur ditambah dengan jumlah hari yang melebihi dari biasanya aku pergi hampir tak pernah ada dalam ekspektasi mengingat kondisi hidupku sekarang yang lebih memilih berada di zona yang tidak pasti. Naik turunnya perjalanan hidup tentu lebih terasa dibandingkan dengan yang setiap bulannya mendapatkan upah. Aku juga tak pernah menyesali meski terkadang begitu berada pada posisi yang benar-benar di bawah, rasa bimbang dalam pikiran seringkali menghantui. Untungnya hal tersebut biasanya tidak berlangsung begitu lama, karena kemudian seperti ada yang menenangkan dan menguatkan bahwa hidup adalah soal bagaimana bisa menikmati dan itu letaknya bukan di dalam pikiran tetapi ada pada hati. Di luar kebimbangan yang kadang terjadi, sebagian besar hidup yang aku jalani sebetulnya justru lebih banyak menikmati hingga sekecil apapun kejutan yang didatangkan aku tetap mampu mensyukuri dan merasa bahwa itu cukup berarti.
Di pagi yang sudah memasuki hari ke-4 ini aku bangun masih sama seperti hari-hari sebelumnya, tidak kesiangan tetapi juga tidak terlalu pagi. Masih terbilang normal untuk ukuran waktu yang masih menunjukkan sekitaran pukul 6 lebih. Kehidupan di jaman modern sepertinya mematahkan asumsi yang selama ini diajarkan pada saat masih kecil mengenai yang dilakukan setelah bangun tidur yaitu mandi dengan tak lupa menggosok gigi, karena pada kenyataannya sekarang adalah begitu bangun tidur HP yang kemudian langsung dicari. Yang demikian tak hanya terjadi pada pengusaha konglomerat yang sepertinya harus 24 jam siaga untuk siap dihubungi, tetapi juga pada masyarakat biasa yang termasuk aku sendiri hehe. Yang membedakan adalah setelah layar menyala akibat dipencet tombol powernya, pada HP-ku tetap tidak ada notifikasi apa-apa. Operator saja nampaknya sudah enggan untuk mengirimkan pesan-pesan, penyebabnya bukan percuma pasti akan dihiraukan melainkan aku yang sudah berada di luar jangkauan sehingga promo semenarik apapun mana mungkin berlaku hehe.
Sekitar pukul 07.00 aku mulai beranjak dari tempat tidur untuk pergi mandi. Aku membiasakan diri untuk selalu lebih dulu mengawali supaya aktifitas kami bisa dimulai sejak waktu masih pagi, meskipun pada kenyataannya hampir tak pernah berangkat sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat yang itu sudah terjadi pada beberapa hari sebelumnya yang sudah kami lalui. Dengan membiasakan diri ini untuk berusaha mengawali, aku merasa bahwa dengan diberikannya kesempatan ikut diberangkatkan untuk menemani selama perjalanan memang sudah semestinya untuk setidaknya tidak begitu menyusahkan. Seperti contohnya, begitu Mas Hendra sudah pada posisi siap kami tinggal langsung berangkat sehingga tidak perlu lagi untuk menunggu aku yang harus mandi lebih dulu.
Harapanku mengawali mandi yang supaya bisa langsung disusul bergantian setelahnya sampai di hari ke-4 ini tak kunjung membuahkan hasil, karena tetap saja Mas Hendra tampak dengan santainya tiduran di kasur dan seperti biasa begitu fokus sekali dengan HP-nya. Aku yang mencoba mengingatkannya untuk segera mandi melontarkan kalimatnya dengan nada agak ragu, khawatir takut mengganggu. Ditambah dengan mukanya yang tampak tak berekspresi, tentu dalam pikiran semakin menimbulkan rasa ketidak enakan yang seolah aku terlalu berlebihan dalam mengingatkan. Sebetulnya dalam hati juga agak geregetan karena tak juga kunjung beranjak dari kasurnya, yang padahal jadwal pertama pada hari ini menjadi bagian yang sudah tidak lagi bisa diubah karena kemarin sudah kami pesan tiket shuttle-nya. Aku menyayangkan apabila keterlambatan keberangkatan kami menuju Berjaya Times Square yang merupakan titik dimana kami dan peserta lainnya dikumpulkan mengakibatkan tiket yang sudah dibeli terpaksa harus kami sobek karena keduluan Shuttle yang sudah meninggalkan area keberangkatan, hanya karena kecerobohan kami yang terlalu menyepelehkan waktu yang seharusnya itu tidak sampai dilakukan. Untung saja, meskipun agak mepet dengan jadwal keberangkatan, perjalanan kami menuju ke Titik Kumpul aku lihat sepertinya masih cukup memungkinkan.
Perlu diketahui bahwasannya apapun dan bagaimanapun alasannya, diusahakan untuk sebisa mungkin tidak berangkat dalam keadaan mendadak jika tidak dalam kondisi yang benar-benar terpaksa termasuk seperti yang kami alami sekarang, pada akhirnya aku berangkat dalam perasaan yang kurang nyaman yang padahal seharusnya aku bisa lebih tampak antusias karena ini akan menjadi pengalaman pertama menuju ke tempat yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Dimana itu disebabkan karena kesalah pahaman yang dilakukan antara aku dengan Mas Hendra. Jadi pada saat masih menunggu mobil dari Grab yang sudah kami pesan datang menjemput di depan hotel, aku menawari Mas Hendra untuk membeli nasi bungkus dulu sebentar untuk dibawa sebagai bekal karena disana tidak begitu banyak yang berjualan makanan berdasarkan beberapa informasi dari yang sudah pernah berkunjung. Selain minimnya jumlah stand makanan informasi tambahan yang aku dapatkan adalah harga makanannya yang cukup lumayan. Dari situ kemudian banyak yang lebih menyarankan untuk membawa bekal secukupnya yang diperlukan. Tetapi Mas Hendra menolak dengan beralasan bahwa waktu kami berdua sudah sangat mepet yang padahal dari beberapa waktu yang lalu aku sudah mengingatkan untuk segera bergegas sehingga masih ada banyak waktu untuk persiapan. Penjual nasi bungkus yang aku tunjukkan juga sebetulnya amat sangat dekat tinggal jalan menyebrang ke depan bukan di tempat kemarin malam aku makan, jika disana mungkin juga aku tidak begitu mempertimbangkan karena meskipun dekat tetapi akan memakan waktu sedikit untuk sekedar menuju kesana dengan berjalan. Tetapi untuk tempat yang aku maksud kali ini posisinya hitungannya masih berada di sekitaran depan, tinggal naik ke atas setelah menyeberang jalan. Tawaran yang aku berikan tentu semata-mata supaya tidak begitu membengkak pengeluaran, hanya saja karena Mas Hendra merasa tidak memerlukan sehingga aku hanya bisa berpasrah kemudian.
Tak lama kami berdua menunggu berdiri tepat di depan hotel, Mobil Grab yang akan kami gunakan kini sudah datang dan siap mengantarkan menuju ke tempat dimana pada aplikasi sudah tercantumkan. Dengan lama perjalanan yang hanya memakan waktu sekitar 4 menit yang kurang lebih sama dengan kemarin karena kondisi jalanannya yang masih cukup lancar, kami sudah sampai dan diturunkan tepat di depan pintu utama Berjaya Times Square. Begitu keluar dari mobil dan menyelesaikan pembayaran, yang kami berdua lakukan adalah berjalan menghampiri petugas keamanan yang sedang berjaga untuk menanyakan ke arah manakah kami harus berjalan untuk menuju ke lokasi dimana para pengguna Shuttle yang akan menuju ke Colmar Tropicale dikumpulkan. Ditunjukkanlah kami kemudian arahnya yaitu dari depan pintu masuk tinggal berjalan ke arah kanan sampai ke ujung melewati Starbuck, pencarian kami menuju ke lokasi cukup dimudahkan karena begitu sampai di ujung tampak terlihat mobil bertuliskan Bas Persiaran dengan terdapat gambar semacam logo dari Colmare Tropicale terparkir. Mobil semacam ini sebetulnya aku sudah tidak begitu asing, hanya saja memang belum mengetahui pasti bagaimana kondisi di dalamnya. Karena mungkin disini masih terlihat sepi, Mas Hendra tiba-tiba mengajakku untuk terlebih dahulu mencari sarapan. Pada kondisi seperti sekarang ini aku sendiri juga bingung harus mencari dimana, ada beberapa stand makanan yang berjualan di tempat yang tak jauh dari mobil Bas Persiaran terparkir sayangnya belum ada satupun yang sudah buka. Mencari di tempat yang agak jauh juga sedikit ragu, ditambah belum tahu pasti juga tempat berjualan makanannya dimana. Hingga akhirnya kami berdua hanya bisa pasrah tetap menunggu keberangkatan dengan berdiri pada posisi yang masih sama. Kalau diingat-ingat lagi kejadian yang baru tadi, rasa jengkelku mungkin bisa menjadi bertambah begitu pada kondisi sekarang yang kebingungan untuk bagaimana bisa mendapatkan menu sarapan. Namun kembali lagi karena aku orangnya termasuk yang tidak enakan, sehingga tidak ada daya untuk kembali mengungkit kejadian tadi yang sebetulnya tujuannya supaya dijadikan pembelajaran khususnya pada perjalanan ini yang karena masih ada sekitar 1 mingguan lebih ke depan. Begitu sudah ditulis dalam cerita perjalanan, aku baru menyadari bahwa mungkin ini hanya soal perbedaan kebiasaan. Seperti karena Mas Hendra yang sudah terbiasa lebih siap dengan keuangan sehingga tidak begitu memikirkan tempat selama perut memang mulai memerlukan asupan, yang tentu berbeda denganku yang sudah lebih terbiasa membawa bekal dibandingkan makan di tempat yang cukup acak karena alasan penghematan. Kekurangannya adalah seperti pada kondisi sekarang, meski siap dengan keuangan tetapi apabila belum ada satu pun tempat yang buka kami berdua bisa apa.
Sopir yang akan mengantarkan kami kini telah datang, aku dan Mas Hendra berjalan menyeberang mendekat ke arah mobil. Beberapa orang yang akan berangkat pada jam yang sama mulai merapat juga, ternyata yang menyebabkan terlihat sepi adalah berjauhannya posisi menunggu di antara kami semua dan juga kapasitas mobilnya yang memang tidak dapat menampung begitu banyak orang. Aku lupa mengenai jumlah pastinya, tetapi kemungkinan hanya sekitar 10-12an penumpang. Bagi yang mengetahui tepat kapasitasnya bisa dibantu untuk melengkapi informasinya melalui kolom komentar yang ada di bawah, terima kasih telah bersedia. Meski belum pernah menggunakan sebelumnya, aku merasa bahwa mobil Bas Persiapan ini bukan tipe Hiace sekalipun body luarnya tampak hampir sama. Karena begitu berada di dalam lumayan sempit juga jarak antara setiap baris kursinya, bahkan sempitnya melebihi dari standar Elf yang beberapa kali pernah aku naiki pada saat di Surabaya. Dengan postur tubuh yang sebesar ini, sepertinya aku harus membetahkan yang entah sampai berapa lama waktu yang akan dihabiskan dalam perjalanan. Sudah selayaknya diriku menerima keadaan atas apa yang sudah aku jadikan pilihan, yang dimana karena memang pilihan mode transportasi termurahlah yang kami gunakan. Tetapi perlu diketahui bahwa ini hanya sebagian kecil dari pilihan murah yang tak sesuai dengan ekspektasi, aku bisa beri contoh salah satunya adalah bus yang biasa digunakan untuk menuju ke KL Sentral dari Bandara dan beberapa transportasi umum lainnya dimana dengan tarif murah yang ditawarkan tak menjadikannya untuk kemudian melupakan sisi kenyamanan.
Dari mulai baru berangkat, merasa bahagia menikmati perjalanan sudah tidak lagi ada hasrat. Yang aku harapkan hanya bagaimana dengan posisi yang tidak nyaman di dalam mobil bisa tetap beristirahat, karena hanya dengan cara ini aku bisa sedikit melupakan kondisi tubuh terutama perut yang rasanya sudah tidak kuat ditambah lagi dengan kepala yang mulai pusing. Sepertinya memang sebuah kesalahan untuk menempati kursi paling belakang, dimana posisinya yang tepat berada di atas ban mengakibatkan begitu melewati jalanan yang tidak rata tentu goncangannya sampai ke badan. Aku kurang mengerti pembahasan secara ilmiah mengenai pengaruh duduk pada kursi deretan belakang terhadap kondisi kesehatan si penumpang tetapi aku sering kali mendengar anjuran bahwa bagi yang kondisi badannya sedang kurang prima, gampang mual, atau malah muntah untuk lebih baik berpindah duduk di deretan kursi depan, ini biasanya aku dengar pada saat pergi dengan rombongan menggunakan bus. Ada satu momen dimana pada saat mobil baru melampaui sekitar setengah dari perjalanan ketidak tahananku pada kondisi dan keadaan semakin memberontak, karena tidak tahu lagi bagaimana harus bersikap yang kemudian aku lakukan adalah menunjukkannya dengan bertingkah seolah kesakitan dibarengi dengan suara rengekan "Aaa... aaa..." yang tidak begitu keras supaya tidak terdengar oleh penumpang di depan hehe. Ini aku lakukan supaya Mas Hendra menjadi paham yang sehingga kemudian tidak lagi menyepelekan sesuatu. Apalagi aku sudah pernah sekali mengalami akibat dari memulai aktifitas perjalanan hanya dengan persiapan 1 gelas Pop Mie yang dijadikan sarapan yang itu juga dibuatnya dengan air seadanya yang tidak begitu panas karena posisinya yang masih berada di dalam Bandara. Dengan kondisi sekarang yang kurang lebih sama tentu akan mengalami De Javu ke arah sana. Setelah perjalanan ini kini tertulis di dalam sebuah cerita, aku menyadari bahwa cukup konyol juga apa yang pada saat ini sudah aku lakukan namun tetap aku menganggap bahwa apa yang sudah terjadi menjadikanku bahan untuk introspeksi untuk tidak seharusnya melakukannya lagi di kemudian. Dari kondisi tubuh yang sudah menurun ini, aku baru mengetahui bahwa beberapa kilo sebelum sampai pada tempat tujuannya mobil yang kami gunakan melewati rute jalanan yang sangat berliku sehingga seluruh penumpang di dalam mobil beberapa kali dibuat terguncang ke kanan dan ke kiri. Aku yang sebetulnya pada posisi tidur yang sudah cukup nyenyak dibuat terbangun karenanya, namun aku berusaha untuk tetap memejamkan mata dan kembali menidurkan diri supaya pusingnya kepala dan rasa mual tidak menjadi semakin terasa.
Setibanya di Colmar Tropicale, seluruh penumpang termasuk kami dipersilahkan untuk turun dan diberi tahu posisi area tunggu penjemputan bagi yang balik ke Kuala Lumpur menggunakan Shuttle lagi yaitu di dekat posisi kami sekarang diturunkan. Aku dan Mas Hendra kemudian berjalan masuk, tak terburu-buru untuk menikmati sekeliling dan berfoto dengan ala-ala pedesaan Perancis Mas Hendra mengajak untuk terlebih dahulu mencari tempat makan. Di tengah-tengah kami yang sedang berjalan kaki, Mas Hendra tiba-tiba membuka topik obrolan mengenai perjalanan keberangkatan tadi yang ternyata juga membuatnya mual yang kemudian aku meresponnya dengan "Ini kayaknya karena belum sama sekali makan sejak tadi pagi." Sebetulnya aku masih ingin melanjutkan kalimatnya dengan "Tadi sih, Mas aku tawarin untuk beli nasi bungkus tapi malah nolak." cuma pada bagian yang ini susah sekali untuk terucap hehe, hanya batin yang menyuarakan lantang yang tetapi mana mungkin sekitar bisa mendengar. Setelahnya, aku sudah lupa pembahasan apalagi dalam obrolan kami. Begitu masuk gapuranya yang tampak seperti gambaran istana pada kartun animasi, kami kemudian berjalan sampai ke ujung yang ternyata tidak begitu panjang atau jauh untuk mencari tempat makan dan hasilnya adalah masih belum ada satupun yang sudah buka. Sesuai dengan perkiraanku, melihat keberadaan tempatnya yang jauh dari mana-mana membuat tempat-tempat makan yang berada di area ini mematok harga yang agak tinggi dari normalnya dengan porsi yang sepertinya juga tidak sebanyak yang ada di kota. Sebetulnya belum mengetahui secara pasti bagaimana wujud porsinya, hanya melihat dari gambar menu yang ditampilkan pada sebuah papan di depan tempat makannya saja. Aku meyakini karena tempat yang sudah masuk ke dalam kategori restoran sehingga kemungkinan besar mereka tidak mungkin asal dalam mencantumkan gambar menunya. Begitu sudah sampai di ujung yang belum ada satupun tempat makan yang sudah buka, kami akhirnya jalan balik ke depan.
Karena kondisi perut yang rasanya hampir sudah tidak bisa lagi ditahan, yang kami lakukan kemudian adalah mengganjalnya sementara menggunakan cemilan roti yang kami beli di tempat yang posisinya tidak jauh dari gerbang masuk, tepatnya berada di sisi sebelah kiri. Begitu masuk ke dalam tempatnya, setiap pembeli dipersilahkan untuk memilih dan mengambil sendiri roti yang akan dibelinya karena pelayanan disini adalah Self-Service. Perut yang sudah benar-benar lapar tentu satu buah roti bagiku tak mungkin mengenyangkan, yang menyebabkanku mengambil 4 macam kemudian. Selain persepsi, keputusan ini sebetulnya masih dipengaruhi oleh emosi yang diakibatkan karena masalah tadi pagi. Seandainya pada kondisi yang terkendali, mungkin aku masih berusaha mengerem untuk membatasi karena aku tahu betapa lumayannya setiap harga yang dicantumkan untuk sekelas cemilan (Lupa berapa pastinya). Selain harganya yang menurutku agak tinggi kondisi roti seperti sudah tidak lagi fresh. Entah apakah aku yang tidak begitu tahu banyak mengenai berbagai macam model toko roti, karena dari yang aku pernah tahu yang diletakkan pada setiap rak biasanya sudah dikemas di dalam plastik atau untuk yang belum dikemas biasanya diletakkan di etalase tertutup. Berbeda dengan yang ada di sini dimana semuanya diletakkan dalam kondisi terbuka yang tentu akan berpengaruh pada tekstur makanannya. Kalaupun mungkin ada proses penghangatan setelah makanan dipesan, kasir yang kebetulan berasal dari Bandung ini tidak juga memberikan arahan. Aku mengetahui tempat dia berasal karena pada saat melakukan pembayaran kami sempat sebentar melakukan obrolan, sebatas bertanya seputar darimana berasal karena mukanya yang masih agak melekat Indonesianya juga penasaran mengenai tempat tinggalnya sekarang yang karena aku merasa area ini jauh sekali dari pemukiman. Ternyata, mereka yang bekerja atau menjadi bagian dari Colmar Tropicale ini diberikan fasilitas tempat tinggal yang orang Indonesia biasa menyebutnya dengan Mess. Untuk kepentingan pekerjaan mereka diantar dan dijemput oleh perusahaan dari Mess menuju ke tempat kerja begitupun sebaliknya. Aku lanjutkan kembali mengenai makanannya, saat aku tulis ini kemudian aku jadi berpikir mungkin aku masuk ke dalam tokonya ketika masih kondisi belum lama buka yang walaupun sebelum kami sudah ada 2 orang yang beli. Aku dapat mengetahuinya karena mereka menikmati makanannya di tempat tidak dibawa pergi yang tentu sama seperti kami sekarang ini. Tetapi aku belum begitu tahu untuk bagaimana kondisi makanannya yang dijual setelah sudah siang atau agak sorean, yang disajikan di dalam rak mungkin dalam keadaan hangat dan juga baru. Jadi bagi yang pernah mencoba dan ternyata punya pendapat yang berbeda dengan apa yang aku bagikan, kolom komentar sangat terbuka lebar untuk kita bisa berbagi pengalaman atau masukan.
Di tengah-tengah kami yang sedang menikmati makanannya, aku yang habis lebih dulu kemudian ijin kepada Mas Hendra untuk ke toilet sebentar. Begitu selesai buang air aku terpikir untuk tidak langsung balik ke tempat kami makan. Dengan hanya bermodalkan HP-ku sendiri yang aku bawa, aku mengambil gambar beberapa sisi bangunan Colmar yang tidak jauh dari toilet dan tempat kami makan (Ngemil lebih tepatnya). Meski belum pernah merasakan Eropa terlebih Pedesaan Perancisnya, suasana pada Colmar Tropicale ini benar-benar seolah seperti berada di tempat aslinya. Dari mulai bangunan secara keseluruhan yang kemiripannya mendekati, dan mungkin para pengguna sosial media bisa terkelabui apabila yang pernah berkunjung di sini memposting tanpa memberikan lokasi. Selain itu, udara dinginnya yang karena areanya berada di dataran tinggi kemudian turut melengkapi. Untungnya tidak begitu yang sampai suhu rendah, karena tidak ada yang membawa penghangat tubuh di antara kami berdua. Balik ke tempat aku tadi makan setelah sebentar mengambil gambar, aku hanya duduk-duduk sambil memandangi sekitar yang sudah mulai terlihat ramai jika dibandingkan dengan sebelumnya sementara Mas Hendra seperti biasa masih sibuk dengan HP-nya. Selain ramai oleh pengunjung yang berdatangan yang sebetulnya tidak begitu ramai yang sampai parah, Colmar Tropicale yang juga merupakan Hotel dan Resort ini tentu juga diramaikan oleh para tamu yang sedang menginap. Seperti di jam-jam sekarang misalnya, banyak tamu yang mulai keluar dari kamar untuk sekedar mencari sarapan atau memang sudah benar-benar keluar karena waktunya Check-out. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara pengunjung biasa dengan para tamu yang menginap, hanya aku yang berpatokan melihat pada penampilan. Contoh paling gampangnya adalah aksesoris yang paling memperlihatkan sebagai pengunjung biasa menurutku adalah tas slempang, jadi untuk yang hanya mengenakan pakaian biasa dengan tanpa aksesoris apa-apa kemungkinan mereka adalah tamu yang sedang menginap. Ini bisa jadi benar tetapi juga bisa saja salah yang karena asumsi ini berdasarkan pengalaman pribadi, dimana apabila menginap di sebuah tempat dan ingin keluar sebentar berkeliling di sekitaran atau memang ada yang sedang dicari tentu cukup berpakaian biasa karena langsung balik kamar setelahnya. Tetapi yang paling memungkinkan dari calon atau yang usai menginap adalah apabila terlihat ada koper yang sedang digeretnya, pengunjung biasa tidak mungkin menikmati suatu wisata dengan menyulitkan sendiri dirinya.
Begitu sudah terasa bosan berdiam diri di tempat sekian menitan, kami berdua memutuskan untuk beranjak pergi dan mulai jalan berkeliling menikmati area ini. Tetapi sebelum pergi kami bergantian foto terlebih dahulu sebentar di depan tempat kami tadi makan, mengambil gambar dengan latar belakang gerbang atau gapura depan baru kemudian memulai jalan. Selain tempatnya yang tidak begitu luas, tidak banyaknya area yang bisa dieksplor membuat waktu kami masih banyak tersisa. Pada saat tadi berjalan sampai ke ujung untuk mencari tempat makan Mas Hendra juga sempat menceletuk "Ternyata tempatnya cuma begini ya, mana jalannya jauh dan medannya kayak gitu tadi. Next kayaknya kita gak perlu kesini lagi." walaupun aku juga sependapat, dimana memang pada saat tadi pertama kali jalan sebetulnya yang kami lewati sudah mewakili secara keseluruhan tetapi aku kemudian merespon dengan jawaban "Hehe iya mas, setidaknya sudah pernah sekarang." Karena memang dari awal objek wisata ini sudah masuk daftar perencanaan yang perlu diupayakan. Tepat di ujung jalan utama terdapat semacam sebuah menara yang dapat dimasuki dan dinaiki oleh pengunjung, kami yang penasaran dengan isi di dalamnya dan melihat pemandangan Colmar Tropicale dari ketinggian tentu memutuskan untuk masuk. Apa yang aku lihat sebelumnya dari jalanan di bawah tidak begitu ada yang beda, yang menjadi poin lebih melihat dari atas menara adalah sudah pasti lebih jauh jarak jangkau pandangannya yang sayangnya tetapi tetap tidak bisa menjangkau luas karena tingginya juga bangunan yang berada di sisi kiri dan kanan jalan utama. Tidak begitu lama kami di sini, setelah bergantian foto yang kemudian bingung harus mengambil gambar dari sisi mana lagi kami putuskan untuk turun kembali. Pada saat jalan menuruni tangga terlihat sepasang kekasih berjalan berlawanan yang kemungkinan akan naik ke atas menara, entah apakah mereka berdua sudah menunggu dari tadi atau masih baru saja karena kami sebelum naik tadi juga mengalami hal yang sama dimana perlu menunggu terlebih dahulu di tangga karena tadi di atas masih ada sepasang kekasih juga. Begitu mereka sudah berjalan kembali menuruni tangga, barulah berganti giliran kami.
Sekeluarnya dari dalam menara, kami kemudian berjalan ke arah depan. Bukan karena sudah tiba waktunya untuk pulang, tetapi semenjak datang kami belum sempat berfoto di depan gerbang dan memang kami agendakan setelah cukup berkeliling di bagian dalam seperti sekarang. Begitu sudah berada di depan lalu menikmati dan merasakan, yang terbayang di dalam pikiran adalah benar-benar serasa akan masuk di sebuah istana yang sering aku lihat di layar kaca. Dari mulai jembatannya yang bisa dinaikkan ke atas sebagai perlindungan pertama kerajaan, hanya saja yang ada di sini tentu sudah dipatenkan hehe. Dilengkapi juga dengan sungai di bawahnya yang diisi dengan sekumpulan buaya untuk membantu menjaga, tetapi di sini sungainya hanya terisi dengan air saja karena memang bukan tempat wisata fauna. Meski berfoto disini akan banyak pose serta sisi yang bisa didapatkan tetapi kesabaran perlu dipersiapkan, seringkali harus siap terjeda karena perlu mempersilahkan terlebih dahulu orang-orang baik yang berjalan keluar ataupun masuk ke dalam apabila ingin maksimal hasil yang didapatkan dimana yang terekam dalam gambar hanya kami dengan latar belakang bangunan.
Aku kurang mengerti di Pedesaan Perancis aslinya apakah juga ada, karena di sini begitu akan masuk ke dalam dan sebelum melewati jembatan terdapat yang namanya Gembok Cinta hehe. Hampir tempat wisata yang menyediakan fasilitas ini tidak pernah terlihat ada pagarnya yang sepi, padahal mungkin sepasang kekasih sudah meletakkan gembok cintanya di suatu tempat wisata tetapi di tempat lainnya masih timbul hasrat untuk kembali memasang lagi yang seolah semua tempat harus menjadi saksi kisah cinta mereka. Berbeda denganku yang setiap berada di tempat wisata yang ada gembok cintanya yang bisa aku lakukan hanya mengamati satu per satu gemboknya sambil terkadang mengomentari tulisan-tulisan yang isinya memang memancing kekesalan bagi si pembaca, antara tidak menyadari bahwa ini merupakan ruang publik yang siapa saja mempunyai kesempatan untuk melihat isi tulisannya atau memang sengaja dengan tidak peduli yang penting beginilah caraku menunjukkan rasa cinta menurutnya.
Setelah bingung bagian mana lagi yang bisa dinikmati karena merasa semuanya sudah terwakili tiba-tiba kami teringat sesuatu, pada saat kemarin membeli tiket Shuttle aku diberitahu bahwa dikarenakan tiket yang dibeli adalah untuk berangkat dan juga pulang maka biaya yang dibayarkan sudah termasuk 1 tiket masuk Botanical Garden dan Japanese Village. Untuk mengisi kekosongan waktu yang dimana jadwal pulang kami masih agak lama, kami putuskan untuk mencoba karena timbul rasa penasaran juga tempatnya seperti apa. Untuk menuju kesana, nanti ada kendaraan yang akan menjemput kami dan mungkin pengunjung lainnya juga yang penasaran ingin mengetahui. Titik Kumpul penjemputannya adalah di sebuah pos yang lokasinya masih satu area dengan penurunan penumpang termasuk kami dari Shuttle tadi. Perkiraanku sebelumnya yang sepertinya kami hanya perlu menunggu beberapa menit saja ternyata salah, karena kendaraannya datang menjemput dengan waktu yang agak lumayan lama. Bukan Mini Bus atau apa, melainkan yang datang adalah seperti semacam kereta kelinci yang hanya saja agak besar dan tinggi dengan bentuknya yang hampir sama dengan yang ada di GWK, Bali. Kebetulan di waktu kami sekarang yang bergabung tidak begitu banyak alias masih bisa dihitung jari, lupa tepatnya tetapi yang pasti baru sekitar 15% kursi yang telah terisi. Pada perjalanan kali ini aku mencoba untuk tidak menidurkan diri karena aku pikir kemungkinan cuma sebentar sudah sampai di lokasi, sehingga yang aku kemudian lakukan adalah memperhatikan jalanan yang dilalui. Apa yang aku alami pada saat berangkat menuju Colmar Tropicale tadi terjadi kembali dimana cukup bekelok medan yang dilewati hingga menimbulkan perasaan khawatir apabila rasa pusing muncul kembali dan apalagi ternyata cukup jauh juga perjalanan yang ditempuh untuk sampai di lokasi, untungnya aku dan Mas Hendra tidak sampai muntah dengan kondisi perut yang hanya diganjal dengan cemilan roti. Belum lagi kondisi di dalam kendaraan yang tidak ada rasa empuk sama sekali pada kursinya karena memang dibuatnya hanya dengan menggunakan entah aluminium atau apa tanpa ada sedikitpun spons di dalamnya, begitu melewati jalanan yang tidak rata tentu goncangannya pada pantat akan lebih terasa.
Dari mulai perjalanan menuju ke Colmar Tropicale hingga terlebih perjalanan yang sekarang benar-benar membutuhkan perjuangan, tidak sekedar medan yang dilalui pada saat masih di jalan tetapi sesampainya di tempat pemberhentian kendaraan ternyata kami belum bisa menikmati langsung objek wisatanya. Dengan cuaca yang sedikit gerimis, kami perlu berjalan menaiki tangga yang cukup lumayan tinggi. Tidak selesai begitu saja rintangannya, Di sini kekuatan kaki benar-benar dibutuhkan karena kami masih harus berjalan yang belum tahu akan sampai berapa lama karena memang tidak mengerti berada dimana posisi lokasinya. Memang kami tidak sendirian karena pengunjung lainnya juga pasti akan mengalami hal yang sama, hanya saja yang menjadi masalah adalah belum banyak terisinya daya tenaga yang kami punya. Untung saja tidak sampai yang berkilo-kilo berjalan kaki, hanya puluhan meter saja kami sudah sampai di lokasi. Lokasi yang aku maksud ini juga bukan sudah berada di salah satu objek wisatanya, tetapi masih berada di patokan petunjuk arah yang dimana kami baru tahu bahwa ternyata kedua objek wisatanya berada di satu kawasan yang sama hanya dipisahkan oleh jalur yang berbeda saja. Tidak adanya ketertarikan untuk mengunjungi Botanical Garden dan memang alasan datang kemari karena penasaran dengan Japanese Village-nya tentu membuat kami hanya perlu fokus pada satu objek wisata saja. Dari posisi sekarang yang berada di sekitar patokan, kami berjalan ke arah kanan dan tinggal mengikuti jalan. Begitu sampai di lokasi kami tidak merasakan adanya suasana ala-ala Jepang, yang justru banyak kami temukan adalah penjelasan mengenai berbagai macam jenis tumbuhan yang tertancap di tiap-tiap tumbuhannya. Memutuskan untuk tidak melanjutkan jalan lebih jauh lagi karena daripada nanti benaran salah, aku dan Mas Hendra kemudian jalan balik menuju ke Patokan untuk mengecek kembali. Ternyata memang kami tadi salah arah dimana seharusnya bukan ke kanan melainkan ke kiri, tetapi hikmahnya adalah dua-duanya menjadi kami kunjungi meski belum sampai tuntas menelusuri. Berbeda dengan pada saat berjalan ke Botanical Garden barusan, untuk menuju ke Japanese Village perlu berjalan yang agak lumayan dengan medan yang dilewati yaitu sedikit becekan, bebatuan, juga pepohonan yang dimana sudah hampir seperti jalur pendakian.
Di tengah perjalanan langkah kami harus terhenti karena jalan akan kami lewati masih dipakai untuk berfoto sebentar oleh 4-5an anak gadis, perkiraanku usianya agak di bawahku. Dengan wajah dan kulitnya yang berwarna putih lumayan cantik juga mereka semua, perkiraanku adalah antara mereka wisatawan dari China atau Jepang dengan persentase 25% : 75% karena mukanya yang menurutku lebih mengarah ke Jepang. Aku juga sempat diminta tolong untuk memfotokan mereka dengan menggunakan latar belakang semacam gapura yang sepertinya ada tulisan Japanese Village (Aku sudah lupa), dengan menggunakan bahasa inggris tentu bahasa yang digunakannya. Begitu sudah selesai dengan tak lupa mengucap terima kasih mereka kemudian langsung berjalan pergi. Aku sempat menawari Mas Hendra yang siapa tahu mau berfoto di sini juga, tetapi dia lebih memilih nanti pada saat sudah kembali. Pada saat tadi selesai aku memfotokan dan kelompok anak gadis tersebut mulai beranjak pergi Mas Hendra sempat menceletuk pelan "Dari Indonesia itu mereka mar." Dengan bentuk mukanya yang tidak begitu menunjukkan ada Indonesianya ditambah kemudian bahasa komunikasi yang digunakan baik denganku pada saat meminta tolong tadi juga dengan antar temannya yang malah menggunakan entah Bahasa china atau jepang, tetapi bila aku perhatikan logatnya lebih seperti mirip jepang menyebabkanku menanggapi celetukannya Mas Hendra dengan "Ah nggak mas kayaknya, kalau gak dari Jepang ya dari China." Obrolan kami mengenai kelompok gadis tadi tidak terlalu dibahas panjang karena percuma subjeknya juga sudah tidak ada, daripada malah terjadi perdebatan asumsi-asumsi yang tidak berarti.
Setelah ratusan meter kami berjalan, barulah terlihat sebuah rumah tradisional Jepang yang di depannya terdapat kolam kecil yang airnya tampak begitu jernih serta diramaikan oleh ikan-ikan hias yang membuat suasana jepangnya lebih terasa. Niat hati kami berdua ingin berfoto di area ini yang tetapi perlu menunggu karena masih dipakai oleh sekelompok gadis tadi. Begitu mereka pergi tentu artinya sekarang adalah giliran kami, baru juga mau mengambil gambarnya Mas Hendra untuk pertama kali cuaca yang tadinya hanya gerimis kecil tiba-tiba menjadi sangat deras yang terpaksa membuat kami harus menunda dulu sebentar karena harus segera menepi. Tidak diperkenankannya masuk ke dalam kecuali menyewa pakaian tradisional Jepang yang sudah disediakan karena memang rumahnya dipergunakan untuk kebutuhan studio foto membuat aku dan Mas Hendra hanya bisa berteduh di luar teras dengan berdiri. Tidak 100% bisa melindungi sudah pasti, minimal area celana dan sepatu kondisinya agak basah karena terkena cipratan air hujan yang jatuh ke tanah. Kami berdua tidak sendiri, ada satu keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri dengan 2 anaknya laki-laki dan perempuan yang masih seusia balita bersama dengan neneknya yang berteduh juga. Tanpa bermaksud rasis, mereka sepertinya merupakan keluarga China yang dimana terlihat dari bentuk mukanya. Bukan asli dari Warga Negara China melainkankan orang Indonesia yang tetapi ada darah sana. Yang membuatku sedikit tidak menyangka adalah karena spesifik kotanya yang ternyata sama-sama dari Surabaya, meskipun jaraknya cukup jauh dari rumah tetapi aku masih paham dengan daerahnya. Tentu itu semua aku ketahui karena aku dan Mas Hendra sempat melakukan obrolan agak panjang dengan suaminya. Satu hal yang kemudian menjadikanku tidak lagi ada rasa respek kepadanya adalah pada saat muncul keberpihakannya pada Mas Hendra begitu tahu kesibukannya yang merupakan seorang wirausaha dengan skala cukup besar usaha yang dijalaninya. Awalnya kami bertiga berbincang santai seputar perjalanan masing-masing kami, tetapi kemudian berubah topik pembahasannya beralih mengenai kerja sama yang ditawarkan olehnya untuk menjadi penyedia kebutuhan apapun yang sekiranya berkaitan dengan usahanya Mas Hendra. Dengan posisi yang benar-benar baru kenal hal seperti ini menurutku terlihat tidak wajar, tetapi aku tidak sama sekali berusaha untuk menghentikan atau memotong obrolan mereka berdua. Aku tidak mengerti apakah ini terjadi hanya pada segelintir orang China atau sudah rata-rata, yang jelas aku merasa risi jika dihadapkan pada kondisi yang seperti ini yang seolah memandang manusia bukan lagi sebagai manusia seutuhnya melainkan manusia sebagai setengah ladang harta. Dan tindakan paling parah yang karena mungkin saking ambisinya adalah langsung meminta nomor Whatsapp-nya Mas Hendra dari obrolan yang baru berlangsung sekitar 10-15 menit. Diberikanlah kemudian nomornya tanpa aku yang berusaha untuk melarangnya juga, biar nanti saja aku coba mengingatkannya untuk tetap berhati-hati dan waspada.
Begitu hujan sudah agak reda, yang kami lakukan bukan melanjutkan perjalanan untuk jalan lebih jauh lagi melainkan kembali ke bawah dengan agak berlari yang tak lupa sebelumnya berpamitan dengan 1 keluarga yang juga berteduh tadi. Kondisi yang tidak memungkinkan untuk kami melanjutkan perjalanan, dari yang khawatir apabila nanti datang lagi hujan ditambah dengan waktu yang terus berjalan. Pada saat tadi masih berteduh saja aku sudah sedikit kepikiran, dan malah dipertemukan dengan orang yang begituan tadi yang membuat kami (Aku terutamanya) semakin ingin cepat-cepat segera pergi. Dengan lumayan membutuhkan perjuangan karena sudah jarang sekali aku berolahraga yang berbeda dengan Mas Hendra dimana masih cukup rutin bermain futsal terlihat dari Story di sosial medianya, sampai juga kami kemudian di area tunggu Free Shuttle yang posisinya berada di tempat diturunkannya kami pada saat sudah sampai di lokasi ini tadi. Lagi-lagi tak banyak orang yang sedang berada di area tunggu, hanya kami berdua dan 2 orang wanita yang usianya sepertinya sekitar 35-an ke atas dengan tampak menemani entah ibu atau neneknya. Dibandingkan dengan yang ada di Colmar Tropicale area tunggu di sini lebih besar serta banyak sekali kursi yang disediakan dengan posisi penyusunannnya yang memanjang ke belakang. Di tengah-tengah aktifitasku mengirim dokumentasi dari HP-nya Mas Hendra yang telah terkumpul dari mulai tadi pagi untuk mengisi kekosongan waktu sembari menunggu datangnya Free Shuttle yang kapannya kami juga belum tahu, tiba-tiba salah satu dari 2 orang wanita tersebut dengan menggunakan bahasa Indonesia bertanya kepada kami mengenai apakah tadi sempat melihat 4 anak cewek. Begitu mengetahui jumlah orangnya, yang terbayang di pikiran adalah kejadian pada saat aku memfotokan sekelompok gadis tadi. Apalagi ciri-ciri lain yang disebutkan yaitu jenis kelaminnya juga sama. Dengan yakin langsung saja aku menjawabnya dengan "Iya, tadi sempat ngeliat. Cuma pas jalan balik kesini belum keliatan lagi." Aku lupa bagaimana bisa mendapatkan informasinya yang tetapi intinya aku dan Mas Hendra kemudian tahu bahwa mereka semua ternyata berasal dari Jakarta. Mengenai permasalahan perselisihan pendapat kami tentang asal sekelompok gadis tadi yang masih menggantung antara Jepang, China, atau Indonesia akhirnya terjawab sudah, tepat sekali dugaan Mas Hendra hingga aku menjadi merasa malu karena salah hehe. Setelah mengalami kejadian yang berkesinambungan, tiba-tiba malah ada sesuatu yang mengganjal di dalam pikiran yaitu momen dimana pada saat aku diminta tolong untuk memfotokan. Entah apakah ini sebuah pikiran negatif tetapi semoga saja bukan, pikiran ini keluar begitu saja setelah tahu bahwa sekelompok gadis tersebut ternyata merupakan orang Indonesia yang namun kenapa lebih memilih menggunakan bahasa inggris pada saat meminta tolong kepada kami yang seolah seperti menimbulkan jarak antara kami berdua dengan mereka. Dengan posisi yang sama-sama berasal dari Indonesia apalagi pada saat itu aku sempat melakukan obrolan dengan Mas Hendra dengan nada normal (Tidak dipelankan), harusnya momen seperti ini dijadikan ajang untuk saling bertukar informasi dan cerita bukannya malah menarik diri sampai begitu ada kepentingan baru menjalin interaksi itupun sekedar basa-basi. Kejadian seperti ini tidak terjadi sekali, aku sering melihat keluhan dari pelaku perjalanan juga mengalami hal yang sama. Dimana pada saat melakukan perjalanan khususnya di negeri orang sangat berharap bisa bertemu dengan orang Indonesia juga, tetapi di sisi lain justru beberapa orang menjaga jarak dengan menatap sinis saudara sebangsa senegaranya. Bahkan untuk sekedar saling bertegur sapa saja rasanya agak begitu susah.
Tanpa ada kepastian waktu, cukup lama juga kali ini kami menunggu. Jika pada saat tadi berteduh kepikiran kapan bisa melanjutkan jalan untuk kembali, untuk kali ini aku juga kepikiran apakah sudah tak ada lagi jadwal Free Shuttle yang menjemput kemari. Untungnya masih ada orang lain selain aku dengan Mas Hendra yang menunggu juga, dari 3 orang yang salah satunya menanyakan pada kami mengenai anak atau ponakannya tadi kemudian bertambah lagi 1 keluarga yang terdiri dari suami, istri, bersama 1 anak putrinya. Sebetulnya keberadaan mereka tidak juga membuat rasa ketenanganku menjadi semakin bertambah, jika agak sedikit mungkin iya karena masih lebih mendominasi rasa kekhawatirannya. Keberadaan mereka pada kondisi yang sama seperti terpatahkan oleh argumen dalam pikiran bahwa mungkin mereka merasa tidak ada beban karena siapa tahu begitu sampai di Colmar Tropicale yang dilakukannya adalah akan atau justru sudah menyewa mobil yang digunakan untuk kembali ke kota, atau mungkin mereka malah tidak ada agenda balik hari ini karena sudah memilih menginap terlebih dahulu selama 1 hari. Free Shuttle yang ditunggu-tunggu kini akhirnya datang, karena keadaannya kembali hujan dengan tingkat kekerasan yang lumayan satu per satu masuk ke dalam mobil dengan cepat segera supaya air tidak begitu banyak membasahi pakaian. Dengan rute yang sama dan masih dalam kondisi yang sama di antara aku dengan Mas Hendra, nampaknya ini akan menjadi rintangan yang harus kami hadapi kembali hoho. Dan untuk rute balik kali ini ada kejadian tambahan dimana ada yang tidak bisa ditutup sebagian kaca jendelanya sehingga ada celah untuk air hujan bisa masuk. Bersyukur sekali kami berdua sanggup melewatinya tanpa ada rasa ingin muntah. Mungkin juga air hujan yang menjadi penyebabnya, yang mengalihkan kami sehingga tidak fokus kepada kondisi tubuh lagi. Begitu turun dari kendaraan aku dan Mas Hendra sebetulnya ingin lanjut kembali mengambil gambar di area depan di sekitaran posisi kami diturunkan, tetapi karena hujan kembali datang yang sebelumnya sempat mereda sebentar membuat kami membatalkannya dan kemudian berjalan agak cepat menuju ke tenda piramida tempat menunggunya Bas Persiaran (Shuttle) yang nantinya akan mengantarkan kami kembali ke kota. Namanya sebuah tenda tentu melindungi dengan hanya seadanya, yang terpenting minimal pakaian kami tidak begitu basah.
Tidak terasa waktu mulai memasuki sore hari, yang artinya kami akan meninggalkan tempat ini beberapa saat lagi dan itu tandanya daftar tempat yang pernah aku kunjungi (Khususnya di Kuala Lumpur) juga akan bertambah satu lagi. Mungkin aku secara pribadi kurang begitu terpuaskan oleh tempatnya melihat jaraknya yang cukup jauh sekali dari kota, tetapi perlu aku akui bahwa perjalanan hari ini memberikan banyak sekali kejutan yang kemudian menjadi sebuah pengalaman yang bisa aku bagikan salah satunya melalui tulisan. Perihal mengenai rasa keinginan untuk kembali ke tempat ini, ada kemungkinan iya namun bukan pada pilihan yang utama. Penyebabnya sudah tentu adalah akses menuju lokasinya. Meski begitu, jangan sampai cerita pengalamanku menghalangi niatmu apalagi bagi yang belum sama sekali tahu. Sempatkan jika tersedia waktu luang atau memang sudah rencana, siapa tahu mendapatkan pengalaman yang berbeda yang justru merasa ketagihan ingin kembali datang untuk kedua atau bahkan kesekian kalinya. Tidak terasa baterai HP-ku juga tinggal beberapa persen saja yang berarti sudah waktunya diisi daya, untungnya Power bank yang aku bawa isinya masih ada beberapa. Cuma tetap saja, supaya lebih cepat mengisinya tidak aku gunakan dulu sementara karena masih belum tahu juga masih sanggup mengisi sampai berapa. Apalagi nanti ada kebutuhan yang masih memerlukannya, jadi meski layar sudah pecah tetapi ada momen-momen dimana kami masih membutuhkan bantuannya hehe. Untuk itu, maka akan aku lanjutkan lagi nanti ceritanya.
Bersambung...
*Dokumentasi lainnya di bawah:
.
*Dokumentasi lainnya di bawah:
Padahal Raisa tiap off air luar kota naik pesawat ada jadwalnya juga, masak masih gak tahu apa arti menunggu
[Berjaya Times Square]
[Berjaya Times Square]
Toilet di tempat wisata biasanya unik-unik desainnya. Seperti di sini misalnya, ada beginiannya.
[Colmar Tropicale]
Sebagai sesama makhluk hidup, kita perlu mengapresiasi tumbuhan yang mulai percaya diri untuk selfie
[Colmar Tropicale]
Gak perlu muluk-muluk di perumahan mewah, dikasih yang begini juga bakal aku terima
[Colmar Tropicale]
Sudah tidak terlihat banyak bertebaran cita-cita, ataukah orang-orang di sekitar yang menariknya ke bawah?
[Colmar Tropicale]
Permisi, mau ngajak jogging tuan puti
[Colmar Tropicale]
Kayak pake Drone padahal pake tangan. Pake Drone juga tetep pake tangan.
[Colmar Tropicale]
Ini tinggal segini. Kalau nanti ada yang ngeliat sudah berkurang lagi, sudah tahu ya berarti siapa pelakunya? Iya bener, tukang reparasi pager
[Colmar Tropicale]
Benteng Takeshi kalau sudah ada di Perancis, tandanya sudah buka Franchise
[Colmar Tropicale]
.
Instagram: @umarilahjalan
#umarilahjalan ~
Komentar
Posting Komentar